JAKARTA, TORONEWS.BLOG - Budi Setiono (61), warga Kelurahan Kartini, Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat, bukan sosok biasa. Ia kehilangan penglihatannya secara total pada usia 54 tahun setelah sempat mengalami gangguan mata sejak usia 48.
Dilansir dari laman resmi Pemkot Jakpus, Awalnya, Budi masih bisa melihat secara normal, hingga suatu hari saat berkendara, penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap.
Tunanetra Bukan Halangan
“Menurut saya, sosialisasi tentang kesehatan mata kurang, sehingga banyak hal yang kurang saya ketahui. Singkat cerita dari kejadian itu, lantas saya operasi, dan berhasil untuk mata kiri dapat melihat 50 persen, namun 8 tahun kemudian tepatnya 2018 retina mata kiri saya lepas lagi, dan itu tidak bisa diselamatkan sehingga mata saya tidak bisa melihat secara total,” tuturnya.
Sempat Kerja di Dunia Properti Beralih ke Komunitas Tunanetra
Sebelum kehilangan penglihatannya, Budi sempat berkarier di dunia properti. Namun setelah tidak lagi bisa melihat, ia memilih bergabung dengan komunitas tunanetra. Dari sana, ia mulai mengenal berbagai pelatihan—mulai dari pijat hingga menulis. Ia juga mengikuti pelatihan menulis khusus untuk tunanetra dan mendapatkan sertifikat di bidang tersebut.
Menemukan Bakat Terpendam Lewat Menulis
Bakat menulis Budi mencuat saat mengikuti kompetisi “Nulis Bareng” (Nubar), dan meraih juara. Tulisan para pemenang pun dikompilasi menjadi buku, dan lahirlah karya pertamanya berjudul Jampi-Jampi. “Banyak teman-teman tunanetra yang terjun di dunia perpijatan, saya pun punya ijazah untuk pijat tunanetra. Selain itu, saya juga ikut pelatihan menulis, dan alhasil saya memiliki ijazah menulis untuk tunanetra. Suatu waktu saya ikut kompetisi menulis namanya Nulis Bareng (Nubar) dan syukur dapat juara, setelah dari situ kumpulan tulisan dari para juara dibukukan jadilah karya pertama saya itu Jampi-Jampi,” katanya.
Menulis Tanpa Melihat, Menggunakan Teknologi Suara
Kini, menulis menjadi bagian dari hidup Budi. Ia telah menerbitkan tiga buku kolaborasi bersama penulis tunanetra lainnya, yaitu Jampi-Jampi, Romansa Masa Sekolah, dan Menggenggam Dunia. Yang menarik, semua proses menulis dilakukan menggunakan teknologi bantu untuk tunanetra di ponselnya.
“Jadi untuk saat ini metode menulis melalui WA, awalnya ketika ada ide saya luapkan dalam voice note, terus saya kirim ke editor, kemudian setelah ada perbaikan kata-kata dari editor, baru saya ketik, jadi saya menggunakan aplikasi bantuan untuk tunanetra yang ada di hp ini, bekerja melalui suara,” imbuhnya.
Pesan untuk Sesama Disabilitas: Jangan Menyerah!
Keterbatasan fisik tak mengurungkan dirinya untuk tetap berprestasi. Ia pun berpesan kepada rekan sejawatnya agar tetap semangat dalam menjalani hidup.
“Saya berharap, dengan talenta yang saya miliki ini melalui karya tulis dapat bermanfaat untuk masyarakat luas dan juga mengunggah teman-teman disabilitas bukan hanya mengeluh namun, bisa bangkit, semangat, dan berbuat positif untuk kebaikan bersama,” ungkap Budi.
Kini, ia sedang mempersiapkan novel solo pertamanya dengan target 100 halaman. Sementara itu, Lurah Kartini, Ati Mediana, mengaku sangat bangga dengan warganya tersebut.
“Kita saja yang memiliki kelebihan kondisi tubuh dari Pak Budi belum tentu mau meluangkan waktu untuk menulis, namun Pak Budi ini mampu menjadikan kekurangan yang dimiliki menjadi nilai positif,” ujarnya.
Ati menambahkan, Budi merupakan sosok inspiratif yang cukup inovatif dalam beraktivitas. “Saya juga melihat sosok Pak Budi ini dapat memanfaatkan teknologi dengan tepat, artinya beliau menggunakan ponsel untuk menghasilkan karya menulis. Saya berharap ini dapat menjadi pemantik yang lainnya untuk tetap berkarya walaupun berada di kondisi yang kurang menguntungkan,” tutupnya.