SOLO, TORONEWS.BLOG – Sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Bambang Tri Mulyono, terpidana kasus ujaran kebencian terkait ijazah Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo (Jokowi), digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pada Kamis (3/7/2025). Sidang perdana ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Halomoan Sianturi, dengan Hakim Anggota Makmurin Kusumastuti dan Dzulkarnain.
Bambang Tri Mulyono, yang saat ini masih ditahan di Lapas Kelas II A Sragen, hadir langsung dalam persidangan didampingi kuasa hukumnya, Pardiman dan Yakub Chris Setyanto. Sementara itu, pihak termohon PK diwakili oleh Apriyanto Kurniawan.
Diketahui, Bambang Tri Mulyono pada 2023 divonis 6 tahun penjara oleh PN Solo atas dakwaan penyebaran ujaran kebencian mengenai ijazah Jokowi. Hukuman tersebut kemudian diringankan menjadi 4 tahun pada tingkat Pengadilan Tinggi.
Agenda utama dalam sidang perdana ini pembacaan memori PK. Secara bergantian, Pardiman dan Yakub Chris Setyanto membacakan 16 poin yang diajukan sebagai dasar permohonan PK.
Pemohon PK menekankan bahwa pelapor bukanlah subjek hukum yang sah karena dalam kasus pencemaran nama baik hanya korban langsung (individu) yang bisa melapor. Dalam kasus ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dihadirkan sebagai saksi korban dan tidak menyatakan adanya kerugian pribadi, sehingga unsur korban tidak terpenuhi.
Pemohon juga mengkritisi penerapan pasal yang tidak relevan, yakni Pasal 28 ayat (2) jo 45A UU ITE yang seharusnya berlaku untuk ujaran kebencian berbasis SARA. Sementara itu, isu yang dibahas bersifat administratif atau pribadi, bukan SARA.
Definisi “keonaran” dianggap ditafsirkan terlalu luas, karena kegaduhan di dunia maya tidak dapat disamakan dengan gangguan ketertiban fisik secara nyata. Putusan MK terbaru menegaskan bahwa kericuhan digital tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana keonaran.
Salah satu poin penting lainnya bahwa mubahalah merupakan praktik keagamaan, bukan tindakan pidana. Pemohon melakukan mubahalah sebagai bentuk pertanggungjawaban spiritual, bukan menyebarkan kebohongan. Oleh karena itu, niat pemohon tidak seharusnya dianggap sebagai kejahatan.
Dalam proses hukum, pemohon hanya menjadi narasumber dalam wawancara video dan tidak terbukti sebagai pengunggah atau penyebar konten. Maka, pertanggungjawaban pidana atas konten itu tidak bisa dibebankan kepada dirinya.
Poin selanjutnya menyatakan tidak ada bukti pemalsuan atau manipulasi informasi terkait ijazah Presiden, karena jaksa tidak melakukan verifikasi forensik terhadap bukti tersebut.
Pemohon juga menggarisbawahi bahwa peradilan tidak berjalan secara imparsial, mengingat posisi Presiden yang rawan terhadap intervensi politik. Ditambah lagi, pemohon tidak didampingi penasihat hukum di tingkat banding, yang melanggar hak pembelaan dan prinsip fair trial.
Masalah keaslian ijazah, sebagai pusat tuduhan “berita bohong”, juga dinilai tidak diteliti secara forensik, menjadikan unsur pidana tidak terbukti secara hukum.
Selain itu, pemohon menyatakan bahwa aparat penegak hukum mengabaikan prinsip ultimum remedium, yakni pendekatan non-pidana harus lebih diutamakan dalam kasus opini pribadi atau ekspresi agama.
Dalam putusan sebelumnya, hakim menyamakan peran pemohon sebagai pelaku dan penyebar, padahal secara hukum tanggung jawab pidana bersifat individual.
Ditambah lagi, unsur kesengajaan dalam menyebarkan kebohongan tidak terbukti, dan persidangan tidak melibatkan ahli independen untuk menilai konten digital.
Pemohon berpendapat bahwa hakim tidak mempertimbangkan alasan pembenar dan pemaaf, di mana mubahalah dilakukan sebagai bentuk ibadah, bukan provokasi keonaran.
Pemohon menyimpulkan bahwa hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp400 juta terlalu berat dan tidak manusiawi karena putusan didasari pada kekeliruan penilaian hakim.
"Berdasarkan alasan-alasan tersebut, pemohon PK memohon kepada Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan PK, membatalkan putusan sebelumnya, dan membebaskan Pemohon PK dari segala dakwaan, atau setidaknya memberikan putusan yang lebih ringan," katanya.
Majelis hakim menetapkan sidang lanjutan digelar pada Kamis (10/7/2025) dengan agenda tanggapan dari termohon PK serta keterangan saksi ahli dari pihak Bambang.