TEL AVIV, TORONEWS.BLOG - Pemerintah Israel dilaporkan mulai mengalihkan tujuan utama operasi militernya di Jalur Gaza. Jika sebelumnya bertekad untuk melenyapkan Hamas, kini militer Zionis lebih memprioritaskan pembebasan para sandera yang masih ditahan di wilayah tersebut.
Perubahan arah strategi ini muncul di tengah tekanan besar dari sekutu utamanya, Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump melalui timnya memanggil Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer ke Washington DC untuk mendesak kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas dan menghentikan perang sesegera mungkin.
Laporan dari The Times of Israel, Haaretz, dan Yedioth Ahronoth menyebutkan Dermer bertemu para pejabat tinggi AS pada Senin (30/6/2025). Dalam pertemuan itu, Gedung Putih menyampaikan bahwa target jangka pendek Israel harus difokuskan pada penyelamatan sandera, bukan pada ambisi menghancurkan Hamas sepenuhnya.
“Tujuan melenyapkan Hamas bisa ditunda, yang mendesak saat ini adalah keselamatan para sandera dan penghentian pertempuran,” ujar seorang pejabat senior AS, kepada Haaretz.
Sementara itu, dalam pernyataan terpisah yang dikutip Yedioth Ahronoth, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengindikasikan pemerintahannya kini menjadikan penyelamatan sandera sebagai prioritas utama.
Di sisi lain, perundingan gencatan senjata yang tengah dimediasi oleh Mesir dan Qatar juga menghadapi kebuntuan, terutama karena perbedaan tuntutan antara Israel dan Hamas. Salah satu poin krusial adalah desakan Hamas agar Israel menghentikan serangan secara permanen, tuntutan yang sejauh ini ditolak oleh Tel Aviv.
Hamas juga menuntut perubahan dalam mekanisme distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza, agar tidak lagi dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang mendapat dukungan dari AS dan Israel. Meski dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan bantuan oleh Hamas, titik distribusi GHF justru menjadi lokasi jatuhnya banyak korban akibat serangan militer Israel.
Langkah Israel mengalihkan prioritas dari penghancuran Hamas ke pembebasan sandera dinilai sebagai respons terhadap tekanan diplomatik dan realita di lapangan, termasuk meningkatnya korban sipil dan kegagalan mencapai tujuan militer secara tuntas.