JAKARTA, TORONEWS.BLOG - Di era digital seperti sekarang, arus informasi mengalir begitu deras dan tak mengenal batas usia. Namun, di balik kemudahan akses informasi, muncul tantangan baru, khususnya bagi kelompok lanjut usia (lansia).
Lansia sering kali menjadi korban hoaks karena keterbatasan literasi digital, bukan karena kurang cerdas, tetapi karena belum mendapat pendampingan yang sesuai. Di tengah kondisi tersebut, sebuah gerakan edukatif yang diinisiasi oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta hadir untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Bertempat di Sekolah Lansia Fatmawati, RPTRA Pinang Pola, Jakarta Selatan, diselenggarakan program penyuluhan literasi digital dan anti-hoaks sebagai bentuk tanggung jawab sosial berbasis edukasi. Kegiatan ini melibatkan 65 peserta lansia yang tergabung dan dikoordinator oleh kelompok dimensi intelektual yang merupakan salah satu dari tujuh dimensi pembelajaran di sekolah ini.
Sekolah Lansia Fatmawati memang memiliki pendekatan unik mereka membagi kurikulumnya ke dalam tujuh dimensi kehidupan, “SLF mempunyai kurikulum dengan 7 dimensi yaitu Spiritual, Intelektual, Fisik, Emosional, Vokasional, Sosial, dan Lingkungan.
Setiap dimensi dijalankan secara bergiliran” Jelas kak Yus Rusamsi, selaku Kepala Sekolah Lansia Fatmawati. Sekolah Lansia Fatmawati, yang berdiri sejak 2022 dengan moto “Hidup cuma sekali, jangan menua tanpa arti,” menjadi wadah para lansia untuk terus aktif dan produktif.
Meskipun acara baru dimulai pukul 09.00, para lansia sudah hadir sejak pukul 07.00 dan ikut serta dalam menata kursi. Acara dimulai dengan senam ringan, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Lansia, diikuti dengan penampilan angklung.
Dari MC, pengiring musik, dirigen, pemandu senam, hingga penampilan angklung semuanya dibawakan oleh para lansia. Kegiatan penyuluhan pun berlangsung hangat. Program ini tidak hanya berisi ceramah satu arah. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta terhadap isu hoaks dan literasi digital, digunakanlah metode pre-test dan post-test interaktif berbasis aplikasi Kahoot.
Buka Ruang Interaksi
Meskipun mayoritas peserta baru pertama kali mengenal platform ini, mereka mengikuti kuis digital tersebut dengan antusias. Pada hasil pre-test menunjukkan bahwa hanya sekitar 40 persen peserta yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar, mengindikasikan adanya kesenjangan dalam pemahaman informasi digital.
Namun setelah sesi penyuluhan dan diskusi berlangsung, hasil post-test meningkat drastis: hampir seluruh peserta berhasil menjawab pertanyaan dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi literasi digital yang disampaikan dengan metode partisipatif dan ramah usia sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis lansia terhadap informasi yang mereka konsumsi, terutama dari media sosial dan grup percakapan daring.
Lebih dari sekadar kegiatan transfer pengetahuan, program ini juga membangun ruang interaksi sosial yang sehat bagi para peserta. Dengan pendekatan yang tepat, teknologi bisa menjadi jembatan antar-generasi.
Mahasiswa bisa menjadi fasilitator, bukan pengajar yang menggurui. Dan lansia, ketika diberi ruang dan kepercayaan, mampu membuktikan bahwa usia bukan penghalang untuk terus tumbuh dan belajar. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga saling mendukung dan berbagi pengalaman. Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa literasi digital adalah hak semua usia, dan bahwa melek digital tidak mengenal batas umur.
Dengan pendekatan yang tepat, lansia tidak hanya bisa menjadi pengguna teknologi yang aktif, tetapi juga penjaga kebenaran di lingkup komunitasnya. Karena pada akhirnya, tak ada kata terlambat untuk melek digital.