Poin-poin Penting Putusan MK atas Uji Materi UU Cipta Kerja

01 Jul 2025 | Penulis: onenews

Poin-poin Penting Putusan MK atas Uji Materi UU Cipta Kerja

Toronews.blog

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan sejumlah kelompok buruh dalam uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja pada Kamis (31/10/2024).

"Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo ketika membaca amar putusan perkara bernomor 168/PUU-XXI/2023 di Jakarta, Kamis.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sejumlah gugatan seperti pembentukan UU Ketenagakerjaan, pengarusutamaan tenaga kerja Indonesia, struktur gaji dan tunjangan, durasi kontrak kerja, serta mekanisme PHK. Total, MK mengabulkan pengujian konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Cipta Kerja. Sementara permohonan lain ditolak MK karena tidak beralasan menurut hukum.

Para pemohon yang melayangkan gugatan ke MK tersebut ialah Partai Buruh dan sejumlah serikat buruh seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Poin penting putusan MK tentang UU Cipta Kerja

Dalam putusan MK tentang UU Cipta Kerja pada Kamis lalu tersebut, terdapat sejumlah poin penting sebagai berikut:

1. Membentuk UU Ketenagakerjaan secara terpisah

Putusan MK mengamanatkan dibentuknya UU ketenagakerjaan yang dipisah dari UU Cipta kerja.

Penyatuan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja dinilai berpotensi besar mengalami impitan norma dan menciptakan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan.

2. Mengutamakan pekerja Indonesia dan mengatur masuknya TKA

Mahkamah juga mengabulkan permohonan pengarusutamaan tenaga kerja Indonesia dengan membatalkan beleid multitafsir tentang tenaga kerja asing dalam UU Ciptaker.

Majelis hakim menambahkan klausul baru yang berisi "dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia" pada Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja yang sebelumnya berbunyi “hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki”.

3. Durasi PKWT maksimal 5 tahun

Mahkamah juga mengabulkan gugatan mengenai durasi kontrak dalam skema perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja durasi PKWT dikembalikan untuk diatur oleh perjanjian/kontrak kerja. 

Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menegaskan durasi maksimum PKWT adalah 5 tahun termasuk bila terdapat perpanjangan PKWT.

4. Pembatasan outsourcing 

Dalam putusannya, MK meminta agar UU mengenai ketenagakerjaan nantinya turut menetapkan jenis dan bidang pekerjaan outsourcing agar para pekerja mendapat perlindungan hukum yang adil.

Oleh karenanya, MK menilai perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu merumuskan standar mengenai jenis pekerjaan yang termasuk dalam outsourcing.

Standar tersebut dirasa penting untuk menghindari konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan terkait praktik outsourcing.

5. Bisa libur 2 hari seminggu

Mahkamah juga mengabulkan permohonan untuk mengembalikan opsi 5 hari kerja dan 2 hari libur dalam seminggu.

Opsi tersebut sebelumnya hilang dalam UU Cipta Kerja yang hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu.

6. Upah harus memasukkan komponen hidup layak

UU Cipta Kerja menghapus penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal terkait penghasilan.

MK kemudian meminta pasal pengupahan harus memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya secara wajar.

Kebutuhan hidup secara wajar tersebut meliputi: makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

7. Kembalinya dewan pengupahan

Peran dewan pengupahan harus dihidupkan kembali, begitu yang diputuskan oleh MK. 

Pada UU Cipta Kerja peran dewan pengupahan dihapus. Dengan mengembalikan peran dewan pengupahan maka diharapkan tak ada lagi kebijakan sepihak tentang upah dari pemerintah pusat.

MK menyatakan, kebijakan upah mestinya "melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah" pada saat ditetapkan oleh pemerintah pusat.”

8. Struktur dan skala upah yang proporsional

MK merasa perlu ditambahkannya frasa “yang proposional” dalam frasa “struktur dan skala upah”.  

Hal ini untuk memperjelas frasa “indeks tertentu” yang mengacu pada pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh".

9. Upah minimum sektoral diberlakukan lagi

Penghapusan ketentuan upah minimum sektor (UMS) pada UU Cipta Kerja sebelum dirasa tidak melindungi pekerja. 

Pasalnya dalam praktiknya pemerintah seolah tak memberi perlindungan yang layak bagi pekerja. MK merasa dengan dihapusnya ketentuan UMS maka pemerintah mengancam standar perlindungan pekerja.

MK pun menekankan bahwa (UMS) setiap sektor memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda. UMS harus didasarkan pada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.

10. Serikat berperan dalam pengupahan, upah harus memperhatikan masa kerja

MK memutuskan untuk memasukkan kembali frasa “serikat pekerja/buruh” pada aturan soal upah di atas batas minimum. 

Tidak ada lagi kesepakatan pengupahan yang hanya dibatasi antara perusahaan dan pekerja. 

Selanjutnya, sistem pengupahan juga harus memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

11. Pemberlakuan PHK usai putusan inkrah

MK menekan harus ada perundingan bipartit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat.

Jika ditemukan perundingan tak menemukan mufakat maka pemutusan kerja "hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap" sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

12. Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK)

MK memaparkan aturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah. 

Pada pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut ditemukan pertentangan terhadap apa yang telah dipaparkan dalam UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "paling sedikit".


Komentar