Meskipun berhasil lolos dari maut, penderitaan terus menghantui hidup mereka.
“Anak-anak saya hanya makan beberapa suap dalam sepekan. Bagaimana mereka bisa hidup?” tanyanya dengan getir.
Samia Abu Warda, seorang ibu tujuh anak yang juga terpaksa mengungsi setelah suaminya tewas dalam serangan udara Israel, mengungkapkan ketakutannya selama perjalanan pengungsian.
“Hal yang paling membuat saya takut adalah berpacu dengan kematian di satu sisi, dan rasa kaget terhadap tingkat kehancuran di sisi lainnya,” tuturnya.
James Elder, juru bicara UNICEF, menyebut bahwa anak-anak di Gaza menghadapi kondisi yang semakin menggenaskan setiap harinya. Kekurangan makanan, air, dan obat-obatan semakin diperparah oleh serangan berkelanjutan Israel serta pembatasan terhadap bantuan kemanusiaan.
“Jika pembatasan ini tidak segera dicabut, situasi anak-anak yang sudah parah hanya akan semakin memburuk,” tegas Elder.
Save the Children International menggambarkan Gaza sebagai “tempat paling mematikan di dunia bagi anak-anak saat ini.""Setidaknya 3.100 anak-anak di bawah usia 5 tahun telah tewas di Gaza, dan ribuan lainnya berisiko mengalami malnutrisi berat seiring dengan ancaman kelaparan yang semakin nyata," katanya pada Selasa (16/10/2024) melalui X.
Israel Menggali Kekalahan Sejarah
Meskipun PBB telah mengeluarkan berbagai resolusi untuk menghentikan kekejaman ini, Israel tetap melanjutkan kebijakan represifnya tanpa ada konsekuensi berarti dari masyarakat internasional.
Yuval Noah Harari sejarawan berdarah Yahudi, dalam opininya di Hareetz melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan militer Israel di bawah pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Harari menyebut peran brutal yang dilakukan Netanyahu justru membawa Israel menuju kekalahan historis. Netanyahu, menurutnya, lebih mengutamakan balas dendam ketimbang mencapai kesepakatan politik dan membangun aliansi dengan negara-negara demokrasi Barat dan Arab moderat yang sebenarnya lebih krusial dalam menjaga keamanan Israel.
Harari juga menilai tindakan balas dendam Netanyahu atas serangan Hamas telah merusak reputasi Israel di mata dunia internasional, terutama di kalangan negara-negara yang sebelumnya mendukung mereka.
“Bencana kemanusiaan ini telah membuat negara-negara seperti Mesir, Yordania, dan Arab Saudi semakin sulit untuk bekerja sama dengan Israel,” ujar Harari.
Kegagalan Netanyahu dalam memahami tujuan perang menurut Harari tidak hanya mempengaruhi posisi politiknya di kawasan, tetapi juga membuat Israel semakin terisolasi di panggung internasional. Pada awal serangan, Israel sempat mendapat dukungan luar biasa dari negara-negara Barat. Namun, seiring dengan semakin banyaknya laporan tentang pembantaian dan kehancuran di Gaza, satu per satu sekutu mereka mulai menarik dukungan dan menyerukan gencatan senjata. Kebijakan militer Israel yang berlandaskan balas dendam justru membawa bencana, baik bagi rakyat Palestina maupun Israel itu sendiri.
Selama bertahun-tahun, kata Harari, Netanyahu dan sekutunya membangun pandangan dunia yang rasis, yang membuat mayoritas warga Israel terbiasa mengabaikan nilai nyawa Palestina. Ketika mereka dihadapkan pada laporan tentang kehancuran di Gaza, mereka mengklaim bahwa berita tersebut palsu atau mencari pembenaran moral atas tindakan pemerintah mereka atas penderitaan rakyat Palestina.
Israel Negara Ahistoris
Sejalan dengan Harari, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Selasa (16/10/2024), juga mengecam keras serangan brutal militer Israel yang menyasar warga sipil di rumah sakit, tenda pengungsian, dan fasilitas kemanusiaan PBB.
Melalui berbagai pernyataan publik dan diplomasi, Macron menegaskan bahwa serangan Israel terhadap warga sipil Palestina bukan hanya tidak dapat dibenarkan, tetapi juga memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza dan memperlebar dampak kekacauan di seluruh kawasan.
Dalam sebuah percakapan telepon dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Macron mendesak agar segera diberlakukan gencatan senjata dan penghentian operasi militer yang meluluhlantakkan Gaza. Macron juga mengutuk serangan membabi buta Israel yang telah merenggut ribuan nyawa warga sipil, serta serangan mereka terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon Selatan. Menurut Macron, serangan ini hanya memperparah situasi kemanusiaan yang sudah tak tertahankan, baik di Gaza maupun di Lebanon.
Macron bahkan mengingatkan Netanyahu bahwa Israel tidak bisa mengabaikan sejarahnya sendiri. “Netanyahu tidak boleh lupa bahwa Israel didirikan oleh keputusan PBB pada 1948,” tegas Macron, coba mengingatkan bahwa Israel memiliki kewajiban untuk menghormati hukum internasional dan resolusi PBB.
Dalam pandangan Macron, Israel yang lahir dari keputusan internasional tidak dapat terus menerus mengabaikan seruan PBB dan komunitas internasional yang menuntut keadilan bagi Palestina. Namun, Netanyahu tetap bersikukuh dan menolak seruan Macron untuk menghentikan serangan.
Menanggapi kritik ini, Netanyahu mengatakan bahwa Israel tidak dibentuk oleh keputusan PBB, tetapi melalui “Perang Kemerdekaan.”
Netanyahu terus mempertahankan kebijakan militernya dengan argumen bahwa keamanan Israel hanya bisa dijaga melalui kekerasan dan kekuatan militer. Pikiran keras kepala semacam inilah yang akan membawa Israel terkubur dalam kekalahan sejarah.