Bukan Kamisan Terakhir

01 Jul 2025 | Penulis: onenews

Bukan Kamisan Terakhir

Toronews.blog

-- Esai Zen RS

Bu Sumarsih tersusun dari cinta dan kerinduan dan ketabahan dan kesabaran dan kemarahan. Ia kemudian menyerupai keris paling cemerlang karena bahan-bahan terbaik itu kemudian melewati proses tempa-lipat dan tempa-lipat dan tempa-lipat dan tempa-lipat dan tempa-lipat…. 836 proses tempat-lipat.

Ketika Bu Sumarsih mengatakan bahwa cintanya kepada Wawan, putranya yang tewas dibunuh dalam Tragedi Semanggi I, bertransformasi menjadi "mencintai sesama manusia dan para korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus”, kita menyaksikan lompatan kualitatif yang membuat 1 Wawan + 1 Sumarsih ≠ 2, melainkan = banyak dan menggerakkan. Bertiwikrama.

Jika kata “pamor” bisa dipakai, pamor Bu Sumarsih adalah kemanusiaan. Kata “kemanusiaan” ini, selain muncul dalam dasar negara atau justru karena muncul dalam dasar negara tapi tak berbunyi sama sekali dalam praktik, lama menjadi semacam jargon yang begitu lezat dikunyah hanya untuk dimuntahkan kembali. Bu Sumarsih menghidupkan lagi kata itu sehingga berpamor kembali walau redup, walau redup, walau redup.

Memang bukan kewajiban Bu Sumarsih sendiri untuk membuatnya benderang. Jika pun redup, itu karena diredupkan. Oleh rentetan kondisi dan situasi yang melampaui kapasitas seorang ibu yang menghabiskan sisa umurnya dalam sedih yang panjang dan perasaan kehilangan yang begitu rutin.    

Nasib Bu Sumarsih, sebagaimana ibu-ibu yang lain, jangan-jangan adalah menanti. Menanti jabang bayi itu lahir, menanti anak-anaknya pulang dari sekolah, dari tempat bermain, dari tempatnya bekerja, dari perjalanan dan petualangan atau dari sebuah kencan... dan ribuan menanti-menanti lain yang dihayati dengan kecamuk perasaan penuh harap, dengan kerinduan, kadang dengan kecemasan atau bahkan kemarahan yang seketika punah begitu mendengar langkah-langkah kaki anak tercinta memasuki beranda.

Persis seperti ibunya Salvatore “Toto” di Vita dalam Cinema Paradiso yang langsung menghentikan kegiatan merajut begitu mendengar dentang bel yang ia tunggu selama belasan tahun. Saat sutradara Giuseppe Tornatore memperlihatkan gulungan benang yang baru saja dirajut membentuk kain itu terurai seiring langkah kaki sang ibu yang bergegas ke beranda, kita tahu bahwa benang itu adalah jalinan simbolik hubungan ibu dan anak.

Bagi Bu Sumarsih, Kamisan menyerupai benang itu; suatu jalinan yang terlihat rapuh tapi sebenarnya mendalam. Semacam ikatan personal yang luar biasa pejal walau dihantam peluru dari puluhan garnisun. Tiap kali melihat Bu Sumarsih berdiri di Kamisan, saya kerap membayangkannya sebagai sebuah percakapan panjang tanpa kata seorang ibu dengan anaknya di kejauhan.

Namun, tidak seperti Tolstoy, Bu Sumarsih tahu dan enggan sekadar menunggu. Ia mencoba menjemput pada setiap Kamis sore, setiap Kamis sore, dan setiap Kamis sore….

Mulanya ia sendirian, atau ditemani sedikit orang (di antaranya Mbak Suciwati Munir), tapi seiring waktu ia ditemani lebih banyak orang, sebagian terbesar pasti ia tak ingat wajahnya apalagi namanya. Ribuan orang datang silih berganti dalam ratusan Kamisan, setidaknya 836 Kamisan per kemarin, menemaninya menjemput (keadilan untuk) Wawan.

 

Ribuan orang itu mungkin tak tega membiarkan seorang ibu sendirian, mungkin untuk membangun rasa nyaman bagi dirinya masing-masing bahwa kita setidaknya pernah berbuat walau hanya sesekali saja dengan menemani seorang ibu berjuang — tapi justru dari situlah agaknya kita menemukan jawaban mengapa durasi penjemputan itu masih akan panjang, akan sangat amat lama…. 

Alih-alih mengorganisir diri menjadi lebih canggih, lebih kuat dan lebih luas dalam taktik dan strategi dan front, kita masih "sekadar" berkerumun di sekitar Bu Sumarsih. Kita menggunakannya untuk mereguk kenyamanan rapuh bahwa kita telah berbuat tapi pada dasarnya belum apa-apa, atau tidak melakukan apa-apa dari sisi dampak, karena hanya berkerumun di sekitar Bu Sumarsih itu saja yang kita bisa — sembari hanya bisa  mengumpat para korban yang merapat kepada yang sebelumnya dianggap pendosa.

Tidak seperti Bu Sumarsih yang berhasil melakukan lompatan kualitatif, lainnya masih berkutat kepada lompatan kuantitatif dalam imajinasi “kami masih ada dan berlipat ganda” ketika para pelaku, atau yang membantu pelaku, atau yang membiarkan pelaku, terus bertransformasi bukan hanya membesar dalam kuantitas tapi juga meninggi dalam kualitas.

Tak ada lagi pengadilan HAM Adhoc sejak belasan tahun lalu menandakan daya dobrak itu sudah mendekati titik nol. Tak berlebihan jika dikatakan tak ada kebaruan dalam cara bergelut dan bergulat dengan kekuasaan selain bertahan di dalam benteng moral yang betapa pun memukau daya pikatnya tapi sejauh ini makin minimalis dalam hasil.

Kita yang membuat pamor kemanusiaan yang dipendarkan Bu Sumarsih menjadi redup dengan mengerubunginya dari waktu ke waktu seperti tanpa alternatif – dan tanpa sadar kita menjelma kunang-kunang yang hanya tahu cara memburu cahaya, lalu (semoga saja tidak!) perlahan padam bersama-sama.

Tentu penyebabnya tak tunggal, sehingga tak ada pula panasea.

Memang tak mudah bergerak maju menuju kaki langit yang dituju sembari bertahan menghadapi gempuran dari berbagai penjuru. Horison yang tampak terasa makin menyempit oleh kebutuhan praktis mempertahankan ruang-ruang hidup yang masih tersisa. Aktivisme akar rumput yang menggairahkan dalam pertarungan-pertarungan panjang di beberapa sudut tanah air jelas masih ada, dan mesti diperbanyak oleh radikalisasi yang diorganisir para kamerad yang tak berniat bekerja Senin-Jumat sebagai – meminjam istilahnya Arundhati Roy – “spesies indikator”.

Bertahan saja jelas tidak cukup – 10 tahun terakhir telah membuktikannya. Bahwa kuantitas generasi baru yang dibiakkan oleh aksi-aksi simbolik seperti Kamisan, maupun dalam aksi-aksi momentual seperti Peringatan Darurat, mesti difokuskan kepada kehidupan nyata di titik-titik api di mana perampasan terjadi. Agar kapasitas mengorganisir diri, juga dalam merespons langsung situasi-situasi konkret, semakin terlatih melampaui kemampuan (sekadar) konsolidasi.

Biarlah pamor yang dipendarkan oleh orang seperti Bu Sumarsih menjadi tenaga dalam, dan pemahaman akan kinestesis gerakan dibentuk oleh gesekan-gesekan konkret dengan persoalan-persoalan yang juga riil bersama warga-warga yang sedang terdesak. Agar urat dan otot politik semakin terbentuk dan menyublim sebagai muscle memory sehingga melawan lupa tak lagi menjadi sekadar hapalan otak kiri.

Adalah pedih menyaksikan Bu Sumarsih, pada Kamisan terakhir di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, berdiri sendiri di pagar pembatas, agak menjauh dari ratusan orang yang menghadiri Kamisan ke 836, menolehkan kepalanya ke arah istana, dalam tatapan yang entah untuk apa dan siapa serta mengapa. 

“Bukan Kamisan terakhir, kan, Bu?”. 

“Bukan, Dik,” jawabnya dalam nada rendah yang nyaris tak terdengar karena ditilap bising lalu lalang kendaraan. 

Sejam kemudian, saya menyaksikannya berbicara dalam nada tinggi dan jelas dan lugas kepada para wartawan. Saya seperti sedang melihat Pelagia Nilovna sembari mencari tahu di mana Pavel, Andrey atau Vyesovchcikov yang boleh jadi ada juga di sana atau tersebar di tempat-tempat tak terduga. 


Komentar