Apakah Kematian Yahya Sinwar Akan Menghentikan Perlawanan Hamas dan Membuat Israel Mengakhiri Genosida di Palestina?

01 Jul 2025 | Penulis: onenews

Apakah Kematian Yahya Sinwar Akan Menghentikan Perlawanan Hamas dan Membuat Israel Mengakhiri Genosida di Palestina?

Toronews.blog

Kematian Yahya Sinwar pada Oktober 2024 menandai babak baru dalam konflik panjang antara Israel dan Palestina. Sebagai tokoh politik militer nomor satu Hamas setelah tewasnya Ismail Haniyeh, Sinwar memainkan peran penting merawat bara perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel.

Dalam konteks itu kepergian Yahya mencuatkan dua pertanyaan: apakah Hamas akan melanjutkan perlawanan terhadap Isreal dan apakah Israel akan mengakhiri genosida mereka terhadap rakyat Palestina? atau justru memperdalam siklus kekerasan dan balas dendam yang telah berlangsung selama beberapa dekade.

Yahya Sinwar dari Pengungsi Menjadi Pemimpin Perlawanan

Yahya Sinwar adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam gerakan perlawanan Palestina di bawah Hamas. Sebagai pemimpin politik dan militer yang berakar kuat di Gaza, perjalanan hidup Sinwar mencerminkan evolusi dari seorang pengungsi menjadi simbol perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel. Dia tidak hanya dikenal sebagai pemimpin Hamas, tetapi juga sebagai seorang pejuang yang menghadapi penindasan dengan disiplin dan tekad yang luar biasa.

Lahir pada 1962 di kamp pengungsi Khan Younis, Sinwar tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian dan kekerasan yang melanda wilayah Palestina. Keluarganya, seperti banyak keluarga Palestina lainnya, terusir dari tanah mereka selama Nakba 1948 ketika desa mereka, al-Majdal, dihancurkan demi mendirikan kota Israel Ashkelon.

Pengalaman pahit sebagai pengungsi memberikan dasar bagi pandangan hidup dan ideologi Sinwar, yang terus berpegang teguh pada perjuangan untuk merebut kembali tanah yang hilang dan hak-hak bangsa Palestina.

Awal Karier di Hamas: Seorang Pejuang yang Berdisiplin

Karier politik Sinwar bermula di usia muda, ketika ia mulai terlibat dalam aktivitas keagamaan dan politik yang terkait dengan perlawanan terhadap Israel. Pada tahun 1982, ketika masih berusia kurang dari 20 tahun, ia ditangkap untuk pertama kalinya oleh otoritas Israel karena aktivitas Islaminya yang terkait dengan perlawanan. Penangkapan ini tidak menghentikan Sinwar, melainkan memperkuat posisinya dalam pergerakan.

Pada tahun 1985, setelah penangkapan keduanya, Sinwar berkenalan dengan Sheikh Ahmed Yassin, pendiri Hamas, yang menjadi mentor politik dan ideologisnya. Dari pertemuan ini, Sinwar belajar tentang pentingnya perlawanan terorganisir dan kekuatan ideologi Islam dalam memperjuangkan kebebasan Palestina.

Bersama Yassin, Sinwar membantu mendirikan al-Majd, organisasi keamanan internal Hamas, yang kemudian digunakan untuk menghadapi orang-orang Palestina yang dianggap sebagai kolaborator Israel. Ini memberi Sinwar reputasi sebagai pemimpin yang tanpa kompromi, terutama dalam menghadapi pengkhianatan di dalam bangsa Palestina sendiri.

Pada tahun 1988, ketika Hamas mulai menjadi kekuatan besar di Gaza dan Tepi Barat, Sinwar kembali ditangkap oleh Israel dan dijatuhi hukuman empat kali penjara seumur hidup karena perannya dalam pembunuhan dua tentara Israel serta keterlibatannya dalam perlawanan bersenjata. Selama 22 tahun berada di penjara, Sinwar menunjukkan disiplin yang luar biasa. Ia belajar bahasa Ibrani, yang kemudian menjadi aset berharga dalam memahami politik dan strategi militer Israel. Di dalam penjara, ia juga menjadi pemimpin di antara sesama tahanan, membangun jaringan dan memainkan peran penting dalam negosiasi antara tahanan Palestina dan otoritas Israel.

 

Pembebasan dan Kebangkitan sebagai Pemimpin Hamas

Pada tahun 2011, Sinwar dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran tahanan yang melibatkan lebih dari 1.000 tahanan Palestina dengan tentara Israel Gilad Shalit. Pembebasan ini menandai titik balik dalam karier politik Sinwar. Setelah dibebaskan, ia dengan cepat kembali ke Hamas dan meraih pengaruh besar di dalam biro politik organisasi tersebut. Pada tahun 2017, Sinwar diangkat menjadi pemimpin Hamas di Gaza, menggantikan Ismail Haniyeh, yang kemudian pindah ke biro politik Hamas internasional.

Sebagai pemimpin Hamas, Sinwar memainkan peran kunci dalam mengelola dua sisi utama gerakan tersebut: perlawanan militer dan pemerintahan sipil di Gaza. Hamas tidak hanya bergerak sebagai kelompok militan yang melancarkan serangan terhadap Israel, tetapi juga sebagai pengelola administrasi Gaza yang bertanggung jawab atas kehidupan sehari-hari warga Palestina di wilayah tersebut.

Di bawah kepemimpinan Sinwar, Hamas terus melancarkan serangan roket ke wilayah Israel, sementara di sisi lain, mereka juga mengelola distribusi barang-barang kebutuhan pokok, pendidikan, dan pelayanan kesehatan di bawah blokade Israel yang terus memperburuk kondisi ekonomi Gaza.

Perubahan Kalkulasi: Dari Perang ke Negosiasi

Meskipun dikenal sebagai pemimpin militer yang keras, Sinwar tidak selalu mendorong perang sebagai solusi utama. Pada tahun 2018, Sinwar dalam sebuah wawancara secara terbuka menyatakan bahwa perang dengan Israel bukanlah kepentingan Hamas.

"Saya tidak mengatakan saya tidak akan bertempur lagi... Saya mengatakan bahwa saya tidak menginginkan perang lagi. Saya ingin pengepungan [Israel] berakhir [di Gaza]," katanya.

Pernyataan ini mengungkapkan kompleksitas posisinya sebagai pemimpin militer sekaligus politisi, yang memahami batasan-batasan kekerasan bersenjata namun tetap memandang perlawanan sebagai satu-satunya jalan ketika diplomasi internasional gagal melindungi hak-hak rakyat Palestina.

Ia mengisyaratkan bahwa Hamas mungkin lebih tertarik pada perlawanan non-bersenjata sebagai cara untuk mengakhiri pengepungan di Gaza. Sinwar agaknya menyadari bahwa kekerasan bersenjata tidak selamanya efektif dalam menghadapi tekanan militer Israel yang sangat superior. Namun, pergeseran ini tidak bertahan lama.

Pada tahun 2022, setelah Israel memilih pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarahnya, yang memberikan lampu hijau untuk lebih banyak tindakan represif terhadap Palestina, kalkulasi Sinwar tampaknya berubah lagi. Ia memperingatkan tentang kemungkinan "konfrontasi terbuka" dan menyerukan kesiapan perlawanan bersenjata yang lebih kuat, terutama setelah serangkaian tindakan provokatif Israel di Masjid Al-Aqsa. Sinwar, yang dikenal pragmatis, memahami bahwa dalam konteks geopolitik yang semakin tidak bersahabat, Hamas harus mempersiapkan diri untuk berperang jika diperlukan.

Kontroversi dan Warisan

Di mata rakyat Palestina, Yahya Sinwar adalah pahlawan. Ia adalah simbol perlawanan yang teguh melawan pendudukan, seorang pemimpin yang menolak menyerah meskipun menghadapi blokade, serangan militer, dan penjara selama lebih dari dua dekade. Sinwar juga dikenal karena keterampilannya dalam negosiasi, seperti yang ditunjukkan dalam perannya dalam pertukaran tahanan besar-besaran pada 2011. Kemampuannya untuk memimpin Hamas, baik di medan perang maupun di ranah politik, membuatnya menjadi sosok yang sangat dihormati di Gaza dan di seluruh dunia Arab.

Namun, bagi Israel dan sekutu-sekutunya di Barat, Sinwar adalah ancaman besar. Serangan yang dilancarkan oleh Hamas di bawah kepemimpinannya sering kali menargetkan wilayah sipil Israel, yang menyebabkan kecaman internasional dan memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.

Sinwar dianggap sebagai salah satu tokoh utama di balik serangan 7 Oktober 2023, yang disebut-sebut sebagai serangan Hamas paling signifikan terhadap Israel dalam beberapa dekade terakhir. Bagi Israel, pembunuhan Sinwar merupakan langkah penting dalam memerangi Hamas, tetapi bagi rakyat Palestina, kematiannya hanya memperkuat tekad mereka untuk melanjutkan perjuangan.

Kematian Yahya dan Dampak Terhadap Perlawanan Hamas dan Genosida Israel

Keberhasilan Israel membunuh Yahya dirayakan sebagai kemenangan besar oleh Perdana Menteri dan petinggi militer Israel. "Kami telah membalas dendam. Hari ini, kejahatan telah dipukul, tetapi tugas kami belum selesai," kata Benjamin Netanyahu.

Kematian Yahya Sinwar memang merupakan pukulan besar bagi Hamas. Sebagai seorang pemimpin yang sangat dihormati dan berpengaruh, kematiannya menciptakan ruang kosong dalam struktur kepemimpinan organisasi.

Namun, sejarah Hamas  membuktikan bahwa mereka mampu bangkit kembali setelah kehilangan pemimpin mereka. Sebagai organisasi yang berakar dalam di kalangan masyarakat Palestina, Hamas memiliki sistem yang memungkinkan regenerasi kepemimpinan dengan cepat, sehingga kecil kemungkinan perlawanan mereka akan berakhir dengan kematian Sinwar.

Dalam konteks perjuangan Palestina secara keseluruhan, kemartiran seorang pemimpin seperti Sinwar hanya akan memperkuat semangat perjuangan. Bagi banyak rakyat Palestina, terutama di Gaza, kematian Sinwar dilihat sebagai pengorbanan yang menginspirasi, bukan sebagai kekalahan. Seperti yang telah terbukti dalam sejarah, setiap kali Israel membunuh pemimpin Hamas, tokoh baru akan muncul, dan perlawanan terus berlanjut.

Lebih jauh lagi, perlawanan Palestina tidak hanya digerakkan oleh kepemimpinan Hamas, tetapi juga oleh realitas hidup sehari-hari yang dihadapi oleh warga Palestina di bawah pendudukan Israel. Blokade ekonomi, penindasan militer, dan pelanggaran hak asasi manusia telah menciptakan lingkungan di mana perlawanan menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Setiap kali Israel melakukan serangan yang menewaskan warga sipil, terutama anak-anak, generasi baru pejuang perlawanan dilahirkan.

Akankah Kematian Sinwar Mengakhiri Genosida?

Di sisi lain, kematian Yahya, seperti dikatakan oleh Netanyahu tidak akan menghentikan langkah-langkah militer Israel di Gaza, Palestina. Israel, di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, telah menggunakan kebijakan militer yang keras dan blokade ekonomi yang menutup akses rakyat Palestina terhadap kebutuhan dasar, sehingga memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.

Pendekatan Benjamin Netanyahu terhadap Hamas dan Palestina selama bertahun-tahun  digambarkan sejarawan berdarah Yahudi Yuval Noah Harari sebagai strategi perang balas dendam. Setiap serangan roket atau serangan militer dari Gaza, direspons dengan serangan udara besar-besaran yang tidak hanya menargetkan fasilitas militer, tetapi juga menghancurkan infrastruktur sipil dan menewaskan warga sipil Palestina dalam jumlah besar.

Netanyahu, kata Harari, tidak melihat perang sebagai upaya mencari kesepakatan politik namun sekadar balas dendam. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa upaya balas dendam tidak pernah berhasil menciptakan perdamaian yang stabil. Sebaliknya, dendam tersebut hanya menciptakan siklus kekerasan yang terus berulang, di mana setiap serangan Hamas dijadikan alasan untuk serangan Israel yang lebih dahsyat, dan sebaliknya.

Harari mengkritik tajam kebijakan Netanyahu, yang dianggapnya gagal secara moral dan strategis. Harari memperingatkan bahwa Netanyahu tidak hanya tidak menyelesaikan konflik, tetapi juga menghancurkan reputasi Israel di mata dunia, terutama di kalangan sekutu Baratnya. Alih-alih memperkuat posisi Israel, Netanyahu justru telah memperburuk keadaan dengan membiarkan kekerasan terus berlanjut tanpa ada arah yang jelas menuju perdamaian.

Lebih jauh lagi, Harari menunjukkan bahwa Netanyahu mengabaikan dimensi kemanusiaan dari konflik ini. Ketika Israel meluncurkan serangan besar-besaran ke Gaza, korban utama adalah warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan, yang menjadi sasaran serangan militer yang tidak proporsional. Kebijakan ini tidak hanya menghancurkan infrastruktur Gaza, tetapi juga menciptakan generasi baru yang tumbuh dengan kebencian terhadap Israel, yang pada gilirannya memperpanjang siklus kebencian dan kekerasan.

Untuk mengakhiri siklus kekerasan ini, dibutuhkan perubahan fundamental dalam pendekatan politik, baik dari pihak Israel maupun dari komunitas internasional, terutama Amerika Serikat yang telah lama mendukung kebijakan militer Israel. Solusi politik yang mencakup pengakuan hak-hak rakyat Palestina, penghentian pendudukan, dan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat adalah satu-satunya jalan yang dapat mengarah pada perdamaian yang abadi.

Kematian Sinwar adalah babak baru dalam konflik yang belum menemui akhir, dan seperti yang telah terbukti dalam sejarah, penghapusan seorang pemimpin tidak akan mengakhiri perlawanan, melainkan hanya memperkuat semangat perjuangan bagi mereka yang hidup di bawah pendudukan dan penindasan.


Komentar