Toronews.blog
Perang untuk merebut kembali kekuasaan mencapai titik balik ketika pemberontak melancarkan serangan mendadak yang berhasil merebut kembali beberapa wilayah, termasuk Aleppo dan Homs.
Dalam waktu singkat, kelompok-kelompok bersenjata berhasil mengepung Damaskus, pusat kekuatan Bashar Assad. Keberhasilan mereka mengejutkan dunia dan menunjukkan kerentanan rezim yang tampak kukuh sebelumnya.
Salah satu faktor utama yang membawa pada kejatuhan rezim Assad adalah penarikan dukungan dari Rusia dan Iran. Di tengah fokus pada krisis internal dan konflik lain, kedua negara tidak mampu memberikan dukungan yang sama yang mereka berikan sebelumnya.
Tanpa dukungan militer yang signifikan, pasukan Assad tidak lagi memiliki sumber daya yang memadai untuk menghadapi serangan para pemberontak.
Penyerahan yang luas dari tentara Assad pada saat kritis tersebut menunjukkan hilangnya keyakinan di dalam jajaran militer.
Banyak tentara yang merasa kelelahan setelah bertahun-tahun bertempur, serta kehilangan dukungan dari atasan militer mereka. Keadaan ini mengakibatkan efek domino di mana keinginan untuk bertahan menghilang, mengarah pada pengunduran diri dan pembelotan ke sisi pemberontak.
Pewarisan Kekuasaan Keluarga Assad
Generasi pertama pemimpin dinasti Assad, Hafez al-Assad, mengambil alih kekuasaan di Suriah melalui kudeta militer pada tahun 1970. Ia membentuk sebuah rezim yang dikenal dengan kekuasaan otoriter dan kontrol ketat terhadap semua aspek kehidupan masyarakat, didukung oleh angkatan bersenjata dan jaringan keamanan yang meresahkan.
Di bawah kepemimpinannya, Hafez menggunakan taktik brutal untuk menghilangkan setiap tantangan, menciptakan atmosfer ketakutan yang mengakar. Salah satu momen paling signifikan dalam sejarah pemerintahannya adalah pembantaian di Hama pada tahun 1982, di mana ribuan orang tewas akibat penindasan terhadap pemberontakan Muslim Brotherhood.
Setelah Hafez meninggal pada tahun 2000, putranya, Bashar al-Assad, diharapkan akan membawa perubahan positif. Dengan latar belakang pendidikan dalam bidang kedokteran, banyak yang mengantisipasi bahwa Bashar akan mengadopsi kebijakan yang lebih moderat.
Meskipun ia memperkenalkan beberapa reformasi ekonomi yang terbatas, hal itu segera diikuti dengan penguatan kembali struktur kekuasaan yang sama, termasuk kontrol ketat oleh pihak keamanan. Harapan akan liberalisasi dan perubahan sosial perlahan-lahan memudar.
Tindakan represif Bashar terbukti paling jelas saat protes damai meletus pada tahun 2011 sebagai bagian dari gelombang Arab Spring. Alih-alih bernegosiasi dengan para demonstran, rezimnya merespons dengan kekerasan brutal yang memicu konflik bersenjata.
Dalam periode ini, penggunaan kekuasaan oleh rezim Assad baru menjadi objek perhatian dunia, di mana ribuan orang yang menyuarakan aspirasi demokrasi ditangkap, disiksa, atau dibunuh.
Perang Sipil dan Dampaknya
Awal dari perang saudara di Suriah dimulai dengan protes damai yang dipicu oleh penangkapan dan penyiksaan sekelompok aktivis di Daraa. Rakyat mulai bersatu menuntut kebebasan dan hak asasi manusia.
Namun, penindasan yang brutal dari pemerintah segera memicu kekerasan, di mana para pembangkang beralih dari protes damai ke bentuk perlawanan bersenjata. Situasi ini menyebabkan keretakan yang mendalam dalam masyarakat Suriah.
Perang Suriah juga melibatkan banyak sekutu internasional. Rusia dan Iran secara aktif mendukung rezim Assad dengan pasokan senjata, pembekalan logistik, dan intervensi militer langsung.
Sementara itu, sejumlah negara barat, serta negara-negara di kawasan, memberikan dukungan kepada kelompok pemberontak. Ketegangan ini memperumit konflik. Seiring berjalannya waktu, upaya penyelesaian diplomatik menunjukkan hasil yang minim, menciptakan medan perang yang mereproduksi kekerasan tanpa henti.
Konflik berdarah ini telah merenggut lebih dari setengah juta jiwa, dan lebih dari enam juta orang terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di negara lain.
Krisis kemanusiaan yang muncul akibat perang menjadi salah satu yang terburuk di abad ini, mengakibatkan iring-iringan pengungsi yang menuju Eropa dan negara-negara tetangga, dan berdampak pada ekonomi serta stabilitas sosial kawasan.
Masa Depan Suriah setelah Assad
Setelah kejatuhan rezim Assad, kekosongan kekuasaan hadir di mana Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya terkait dengan al-Qaeda, menunjukkan keinginan untuk mengambil peran kepemimpinan.
Meski HTS berusaha menampilkan diri sebagai kekuatan nasionalis, banyak di dalam dan luar Suriah yang masih skeptis terhadap niat mereka dan khawatir akan penerapan hukum yang keras jika mereka mendapatkan kendali.
Sementara beberapa melihat peluang untuk membangun kembali Suriah menuju arah yang lebih demokratis, menimbulkan pertanyaan kritis tentang masa depan negara tersebut.
Adakah jalan menuju stabilitas atau justru jalan menuju konflik baru dengan banyaknya kelompok bersenjata dan kepentingan yang bersaing? Ketidakpastian ini menjadi tantangan besar bagi Suriah yang telah lama dilanda perang dan kekacauan.
Negara-negara di kawasan, termasuk Turki, telah mengamati dengan seksama perkembangan ini. Turki misalnya, berharap agar situasi yang kacau ini tidak menjalar ke tanahnya melalui peningkatan jumlah pengungsi.
Demikian juga, kekuatan-kekuatan internasional harus bertindak dengan hati-hati dalam merespon krisis yang berkembang, mengingat potensi untuk terjadinya gelombang baru ekstremisme dan ketidakstabilan jika tidak ditangani dengan bijaksana.
Keberlanjutan perdamaian di Suriah mungkin sangat bergantung pada bagaimana masyarakat internasional dapat bersatu dalam membantu rakyat Suriah membangun kembali negara mereka yang hancur, dengan memperhatikan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia.