Risma-Gus Hans Gugat Hasil Pilkada Ke MK, Temukan Beberapa Kejanggalan

30 Jun 2025 | Penulis: onenews

Risma-Gus Hans Gugat Hasil Pilkada Ke MK, Temukan Beberapa Kejanggalan

Toronews.blog

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur, Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans), telah resmi mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan tersebut diajukan pada tanggal 11 Desember 2024 dan diterima dengan nomor akta 268/PAN.MK/e-AP3/12/2024. Pengajuan ini muncul menyusul hasil rekapitulasi suara Pilkada Jatim yang menyatakan bahwa pasangan Risma-Gus Hans memperoleh suara yang sangat minim.

Gugatan ini dilatarbelakangi oleh dugaan kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan, yang dianggap terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Kuasa hukum pasangan tersebut, Ronny Talapessy, menjelaskan bahwa ada temuan mencolok di mana Risma-Gus Hans tidak mendapatkan suara sama sekali di sekitar 3.900 tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keabsahan hasil pemilu tersebut.

Dalam proses pengumpulan data, tim Risma-Gus Hans menemukan sejumlah kejanggalan, termasuk adanya surat suara yang tidak terpakai yang jumlahnya sangat mencolok.

Ronny menyebutkan bahwa terdapat selisih antara jumlah surat suara yang tidak terpakai di tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi, yaitu sekitar 600.000 dan 1.200.000 surat suara. Temuan ini dianggap dapat menjadi bukti bahwa telah terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.

Tanggapan Pakar Hukum Atas Gugatan Risma-Gus Hans

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga, Haidar Adam, menyatakan bahwa hak untuk mengajukan gugatan adalah hak konstitusional setiap warga negara.

Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengharuskan pemilihan umum dilaksanakan secara adil dan bebas. Dengan mengajukan gugatan, Risma-Gus Hans menegaskan keberadaan hak-hak mereka sebagai peserta pemilu.

Haidar Adam juga menyoroti pentingnya bukti yang konkret saat mengklaim adanya kecurangan TSM. Menurut Haidar, MK harus menganalisa bukti yang diajukan oleh pemohon dan memastikan bahwa apa yang disebut sebagai kecurangan TSM benar-benar dapat dibuktikan melalui data dan fakta.

Bukti yang bersifat lisan atau tidak terverifikasi tidak akan memadai untuk mendukung klaim tersebut. Dalam konteks ini, perlu diperhatikan bahwa terdapat ketentuan hukum yang mengatur margin suara yang dapat diajukan sebagai dasar untuk gugatan.

 

Apabila selisih suara terlampau besar, maka pemohon harus menunjukkan bukti kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif agar bisa mempengaruhi hasil pemilihan tersebut. Margin suara yang ditetapkan harus jelas dan terukur agar gugatan dapat diproses lebih lanjut oleh MK.

Respons Pihak Tim Khofifah-Emil

Respons dari tim pendukung pasangan Khofifah-Emil relatif skeptis terhadap gugatan yang diajukan. Mereka berpendapat bahwa gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan oleh undang-undang.

Edward Dewaruci, sebagai koordinator tim hukum Khofifah-Emil, menegaskan keyakinan bahwa gugatan dapat gugur di tengah jalan karena tidak adanya landasan yang kuat dalam pengajuan perselisihan pemilihan.

Syarat formil ini bersifat kritikal, terutama mengingat perbedaan suara yang sangat signifikan antara kedua paslon yang bertanding. Dengan lebih dari 5 juta suara yang memisahkan Risma-Gus Hans dari pasangan pemenang, syarat untuk mengajukan gugatan berpotensi tidak terlampaui.

Dalam perspektif ini, tim Khofifah-Emil mengajak semua pihak untuk menghormati hasil pemilihan dan tidak berlarut-larut dalam perselisihan.

Meskipun terdapat skeptisisme, semua pihak sepakat akan pentingnya menjaga integritas proses demokrasi. Pemimpin penelitian dan analis hukum menyatakan bahwa rangkaian gugatan dan proses peninjauan kembali ini adalah bagian dari upaya untuk mencapai keadilan.

Rangkaian ini adalah simbol dari ketahanan demokrasi itu sendiri. Melalui mekanisme ini, masyarakat diharapkan untuk lebih percaya pada keamanan dan kejujuran pemilihan umum di masa depan.

Dalam konteks ini, sudah saatnya semua pihak menghormati proses hukum yang ada dan memberikan ruang bagi MK untuk melakukan tugasnya dalam menilai dan menghitung kebenaran. Proses ini menjadi momen penting bagi penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia untuk terus diperbaiki dan diperkuat.

 


Komentar