Toronews.blog
Di bawah terik matahari yang mulai meninggi di atas ubun-ubun dan panas yang begitu menyengat kulit, Radith Giantiano, 31 tahun, berjalan menyusuri garis pantai Roch Beach, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Tangannya tak berhenti memungut dan menggenggam sampah plastik untuk dimasukan ke dalam karung plastik berukuran 50 liter. Tidak jauh darinya, ombak kecil datang dan pergi, membawa serpihan sampah baru ke tepi pantai.
Radith melakukan pekerjaan ini setiap hari, tanpa dan mengharapkan dibayar. Ia bukan seorang pegawai di dinas lingkungan hidup setempat atau bagian dari organisasi lingkungan besar. Ia hanyalah seorang warga pesisir yang terketuk hatinya buat membersihkan pantai, di mana ia lahir dan dibesarkan. “Dulu, laut ini bersih,” kata Radith Giantiano saat ditemui Narasi pada Selasa, 29 Oktober 2024, lalu. “Dulu, kami biasa berenang dan menyelam di sini tanpa takut terkena sampah.”
Radith adalah sosok anak muda yang aktif bersuara tentang dampak perubahan iklim di Kota Kupang. Ia ikut menggerakan anak-anak muda di Kota Kupang untuk peduli terhadap lingkungan tempat tinggalnya sebagai adaptasi dampak perubahan iklim. Selain sebagai nelayan, Radith juga aktif di berbagai organisasi seperti Komunitas Pengawas pantai Relawan Kamla NTT, Timor Trip Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia [POSSI] NTT, serta Barisan Pemuda Adat Nusantara [BPAN].
Kenangan Radith tentang pesisir pantai yang bersih dan dasar laut yang indah seolah hanya tinggal kenangan dan jadi mimpi buruk membuat hatinya tergerak. Sekitar satu dekade lalu, ia mulai melihat perubahan drastis di tempat ia lahir dan dibesarkan itu karena sampah rupanya menjadi ancaman nyata di daerah tempat tinggalnya.
Saat menyelam di laut dekat pantai, ia menemukan banyak ikan terperangkap di dalam sampah plastik. “Ikan itu mencoba keluar, tapi tidak bisa,” katanya. Momen itu menjadi titik balik bagi Radith. Ia merasa bertanggung jawab untuk memulai sesuatu, meskipun kecil.
Kini, setiap pagi dan sore sebelum mandi, ia mengumpulkan paling tidak sekarung sampah dari pantai Rock Beach. Gelas plastik, kantong kresek, styrofoam, dan bahkan potongan jaring ikan sering ditemukan di pasir atau terapung di air. “Saya tahu ini tidak akan menyelesaikan semuanya,” katanya. “Tapi ini langkah kecil yang bisa saya lakukan.”
Niat baik Radit tak selalu mendapat sambutan positif. Pada mulanya, memunguti sampah jadi bahan ejekan teman-temannya. “Mereka bilang saya gila,” kenangnya. “Untuk apa memungut sampah? Apa gunanya? Tapi saya tetap diam.”. Perlahan, beberapa teman-temannya mulai berubah pikiran. Anak-anak muda ikut membantu, dan bahkan beberapa nelayan yang dulu acuh kini lebih peduli terhadap kebersihan pantai.
Ketika badai tropis Seroja menghantam Kupang pada tahun 2021, dampaknya terasa di seluruh wilayah pesisir. Terumbu karang yang selama ini menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil rusak parah. Gelombang besar mengangkat batu-batu besar dari dasar laut dan membentuk tanggul di sepanjang Teluk Kupang. “Dulu, terumbu karang di sini adalah taman bawah laut,” katanya. “Sekarang, semuanya hancur.”
Radit memulai inisiatif transplantasi terumbu karang untuk mencoba memulihkan ekosistem yang rusak. Ia tahu upaya ini memakan waktu dan membutuhkan banyak dukungan, tetapi ia tidak menyerah. "Kalau kita tidak mulai sekarang, kapan lagi?" katanya.
Pejuang Perempuan & Benteng Terakhir di Desa Tanah Merah
Tak jauh dari Pantai Rock Beach, di Pantai Pasir Panjang, Yasinta Adoe mengorganisir para nelayan kecil di wilayah itu untuk menanam pohon di sepanjang pantai. Tujuannya, selain untuk berteduh para nelayan, penanaman pohon itu juga sebagai upaya mencegah abrasi air laut yang terus menggerus pesisir Pantai Pasir Panjang.
Yasinta bisa dibilang aktivis sekaligus tokoh nelayan perempuan Pasir Panjang yang lantang menolak pembangunan pesisir dengan beton, karena ia meyakini, pembangunan itu bakal berdampak pada nelayan kecil di Kota Kupang. Pada 2015, Yasinta bersama para nelayan di Pasir Panjang menolak pembangunan Jogging Track yang di sepanjang pesirir pantai Pasir Panjang hingga Pantai Kelapa Lima yang jaraknya hanya bersebelahan.
Upaya yang dilakukan itu berhasil. Beton tak jadi berdiri dan nelayan bisa menggunakan pantai itu untuk melaut dan menjadi tempat parkir perahu. “Yang namanya pasir panjang ya selamanya dia akan berbentuk pasir panjang, tidak ada beton panjang, sudah ada beton kan namanya bukan pasir panjang tapi beton panjang. Itu alasan sih kenapa harus ada penolakan-penolakan pembangunan yang merugikan sisir,” kata Yasinta.
Yasinta menginisiasi Majelis Nelayan, sebuah wadah berisi nelayan kecil di Pantai Pasir Panjang yang isinya kebanyakan nelayan perempuan. Selain memperjuangkan hak-hak nelayan kecil di pesisir Pasir Panjang, Yasinta juga menginisiasi banyak hal sebagai upaya beradaptasi dari dampak perubahan iklim. Ia misalnya, menginisiasi pembuatan dan pengelolaan bank sampah di lingkungan tempat tinggal para nelayan di Pasir Panjang.
Dampak badai seroja kata Yasinta adalah dampak nyata bagaimana perubahan iklim mengubah segala hal yang terjadi di pesisir. Saat Badai Seroja melanda Kupang pada 2021, Yasinta adalah salah satu korbannya. Perahu milik keluarganya hancur dilumat ombak setinggi enam meter. Tak hanya Yasinta, hampir mayoritas nelayan di Pasir Panjang rata-rata kehilangan perahu mereka pasca badai seroja.
Dampak itulah yang kemudian dirasakan para nelayan kecil, karena kemudian mereka tak bisa melaut dan mencari ikan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Di Pasir Panjang, kata Yasinta, ekonomi nelayan kecil di daerah itu berubah signifikan. Banyak warga yang tak bisa melaut dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kemudian terlilit pinjaman koperasi. “Kami menyebutnya tamu pagi, siang dan sore,” kata Yasinta. “Karena perahu untuk melaut rata-rata rusak karena Badai Seroja.”.
Untuk mengatasi problem ekonomi para nelayan itu, Yasinta menginisiasi rumah pengolahan ikan. Pada 2022, Majelis Nelayan yang ia inisiasi mendapatkan bantuan dari Dinas Perikanan Kota Kupang berupa alat dan peminjaman gedung yang dipakai untuk usaha ini. Upaya ini kata Yasinta paling tidak dapat membantu memulihkan perekonomian nelayan Pasir Panjang yang kian hari terus berdampak secara ekonomi dari dampak perubahan iklim.
Tidak jauh dari Pasir Panjang, Desa Tanah Merah di Kabupaten Kupang, menghadapi tantangan yang berbeda. Di sini, ancaman utama datang dari abrasi pantai yang telah menggerus garis pantai selama beberapa dekade. Di tahun 1980-an, tambang pasir mengubah lanskap desa ini. Hutan mangrove, yang dulunya melindungi desa dari terjangan gelombang, hampir punah karena aktivitas penambangan pasir ini.
Ketika badai tropis Seroja datang, mangrove yang tersisa membuktikan nilainya. “Ada beberapa rumah warga yang rusak, tetapi tidak hancur,” kata Joni Messakh. Ia menunjuk ke arah pohon-pohon mangrove yang berdiri kokoh di garis pantai, menghadang kekuatan angin dan ombak badai seroja saat itu.
Joni Messakh bisa dibilang mesias dari Desa Tanah Merah. Ia adalah sosok dibalik konservasi Mangrove seluas 105 ribu hektar yang kini tumbuh di sepanjang bibir pantai di desa itu. Bisa dibilang hutan mangrove sepanjang 2 kilometer dari pantai Desa Tanah Merah sampai Noelbaki, Kabupaten Kupang, merupakan milik Joni.
Konservasi Mangrove itu mulanya diinisiasi oleh ayah Joni, Juliman Messakh pada 2004. Pada saat itu, ayahnya khawatir dengan dampak penambangan pasir yang masif dilakukan di daerah itu sejak dekade 80an membuat daerah itu mengalami kerusakan parah yang membuat rumah-rumah warga berada dekat dengan bibir pantai. Tak mau desanya hilang, Juliman kemudian menanam Mangrove di desa itu hingga kemudian diteruskan oleh Joni hingga saat ini.
Ada hal menarik buat menjaga hutan mangrove itu tetap lestari, sebagai langkah konkrit melindungi hutan itu dari penjarahan dan pencurian, warga bersepakat menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang melarang penebangan pohon mangrove. Hukuman bagi pelanggar termasuk denda uang, satu ekor babi, dan kewajiban menanam hingga 20 pohon sebagai ganti rugi.
“Ini tentang melindungi masa depan kami,” ujar Joni bercerita. “Mangrove ini adalah benteng terakhir kami. Kalau mereka hilang, kami juga akan hilang.” katanya.
Kini, hutan mangrove di Tanah Merah tidak hanya melindungi desa dari badai, tetapi juga menjadi sumber penghidupan. Nelayan setempat bisa menangkap kepiting, kerang, dan ikan tanpa harus pergi jauh ke melaut. Hutan Mangrove itu “Mangrove ini memberi kami kehidupan,” tutur Joni.
Mengembalikan Pangan Lokal dan Air yang Mengering di Desa Hewa
Jika Radith, Yasinta dan Joni Messakh melakukan upaya kecil di pesisir kota Kupang, di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, ancaman lain mengintai di daratan. Mata air yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di daerah itu mulai mengering. Dari 17 mata air yang ada, dua telah menghilang, sementara sisanya menunjukkan penurunan debit yang mengkhawatirkan.
“Mata air ini adalah hidup kami,” kata Maria Mone Soge akrab disapa Shindy Soge. “Tanpa itu, kami tidak bisa bertani, tidak bisa memasak, tidak bisa hidup.” Penurunan debit air sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim dan penebangan pohon di sekitar aliran sungai.
Maria Mone Soge adalah sosok dibalik konservasi mata air di Desa Hewa. Ia bersama warga bahu-membahu melakukan konservasi mata air dengan menanam bambu di sepanjang aliran sungai karena air ini bukan hanya menghidupi warga di satu kampung, tapi ribuan lainnya di empat desa hingga lintas kecamatan.
Selain konservasi air, Maria Mone Soge juga membudidayakan pangan pangan lokal yang perlahan mulai ditinggalkan oleh warga di Flores Timur. Kami bertemu Maria Mone Soge, sehari sebelum Gunung Lewotobi erupsi pada 2 November 2024.
Desa Hewa terletak diatas dataran tinggi diujung Larantuka atau tepatnya berbatasan dengan Kabupaten Sikka. Ia mengajak kami ke ladang komunitas di desanya, di mana dia membudidayakan pangan lokal. “kami melihat bahwa potensi Pangan lokal di wilayah kami itu sangat banyak dan beragam,” kata Shindy bercerita. “Namun saat ini dari keberagaman pangan itu banyak yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat,” ia melanjutkan.
Hilangnya pangan lokal karena warga banyak mengkonsumsi dan menanam jenis tanaman pangan dari luar membuat Shindy tergerak untuk membudidayakan jenis tanaman lokal itu di kampungnya. Pada 2016, ia bersama teman-temannya kemudian mendata apa saja pangan lokal yang mengapa iya tak lagi di tanam.
Dari sana Shindy membuat kebun komunitas yang isinya tanaman pangan lokal yang dulu sempat ditanam di daerahnya. Diantaranya ia menanam sorgum, juwawut, berbagai bibit jagung lokal hingga kacang-kacangan. Kepeduliannya melakukan budidaya pangan lokal itu tak lain menjaga tradisi yang sejatinya masih dilakukan warga di desanya. Apalagi, kata dia setiap prosesi adat itu membutuhkan sajian pangan lokal.
“Ketika pangan itu hilang maka ritual atau budayanya juga hilang,” kata Shindy. “Dari situ sebagai anak muda, kita terinspirasi untuk menjaga bagaimana pangan lokal itu tetap terlestari dan budayanya kita juga tetap terlestari.”
Membudidayakan pangan lokal kata Shindy, adalah bentuk upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang kini jadi isu di berbagai belahan dunia. Di Flores Timur, dampak itu mulai begitu terasa dialami warga karena banyak pertanian yang gagal panen. Apalagi kata Shindy, bibit pangan lokal lebih adaptif dengan suhu dan cuaca di Flores Timur ketimbang bibit hibrida yang kini banyak digunakan petani. Menjaga pangan lokal, selain tahan terhadap perubahan iklim, artinya menjaga juga daerah itu dari “Kedaulatan Pangan,” kata Shindy.
Andaka: Generasi Baru untuk Masa Depan Kawalelo
Di desa tetangga, Kawalelo, lokasinya ditempuh sekitar satu jam dari pusat Kabupaten Larantuka, ada sebuah komunitas muda bernama Andaka yang menjadi harapan baru bagi warga yang tinggal di daerah ini. Nama mereka artinya “Anak dari Kawalelo,” mencerminkan dedikasi yang tinggi untuk melindungi mata air dan lingkungan sekitar desa.
“Kami ingin Kawalelo bebas air,” kata Yohanes Kada Watokolah akrab disapa Karli, saat kami temui, 2 November 2024 lalu.
Andaka, bukan hanya sekedar arti, tapi memiliki filosofi yang sangat sederhana dan tak muluk-muluk: jika ingin menggunakan air, maka menanam pohon adalah jawabannya. Karli adalah seorang sarjana kesehatan masyarakat yang memilih kembali ke desa setelah menyadari betapa mendesaknya krisis air di daerah tersebut. Kekeringan yang kerap melanda desa ini karena perubahan cuaca yang sering terjadi, membuat Karli tergerak untuk melakukan konservasi mata air Watonitung yang menjadi tumpuan kehidupan bagi warga desa Kawalelo.
“Ini panggilan hati,” katanya. “Saya tidak ingin anak cucu saya hidup tanpa air.”
Mulanya, konservasi itu dilakukan seorang diri, tapi kemudian anak-anak muda di daerah itu juga mengikuti langkah Karli. Mereka kemudian bersama-sama melakukan konservasi dengan menanami bambu di sekitar lokasi mata air Watonitung. Tujuannya tak lain, selain agar debitnya tetap terjaga dan tak mengering, upaya itu juga sebagai langkah mencegah terjadinya longsor yang pernah dialami desanya.
Mungkin kata Karli, langkah kecil yang dilakukan ia bersama dengan pemuda desa tak akan berdampak hari ini, tapi paling tidak ia berharap, dengan langkah kecil ini, generasi mendatang tidak perlu menghadapi krisis air yang sama.
Harapan di Tengah Adaptasi Perubahan Iklim
Yurgen Nubatonis dari periset Koalisi Kelompok Muda untuk Perubahan Iklim (Koalisi Kopi) berkata, dampak perubahan iklim emang saat ini terjadi begitu nyata dan hampir terjadi semua daerah di Nusa Tenggara Timur. Jika di Kupang dampak itu lebih banyak dialami warga di pesisir, dampak di daratan terjadi di banyak tempat di Kabupaten di NTT. Salah satu yang paling dampak terasa adalah menurunnya curah hujan dan prediksi cuaca di wilayah ini yang terjadi sepanjang 30 tahun terakhir.
Di darat kata Yurgen, dampak menurunnya curah hujan itu bisa dilihat dari menurunnya produksi panen dan kekeringan yang jadi langganan di beberapa wilayah di NTT. Sementara di laut, dampak perubahan cuaca membuat nelayan sulit untuk mencari ikan karena sering terjadinya badai yang datang secara tiba-tiba dan tak bisa diprediksi. Apalagi kata dia, faktor lainnya yang kemudian berdampak secara ekonomi pagi nelayan di pesisir adalah tempat mencari ikan yang kian hari, kian menjauh.
“Iklim NTT semi kering, sehingga memang ketika curah hujan makin sedikit, itu berdampak lebih di sini,” kata Yurgen saat berbincang dengan Narasi.
Yurgen bercerita, dampak itu bisa dilihat dari migrasi pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang di NTT. Di pedesaan misalnya, karena dampak kekeringan yang sering terjadi, banyak warga yang kemudian beralih pekerjaan. Mereka meninggalkan ladang untuk mencari sumber penghidupan lain selain pertanian.
Sementara dampak ekonomi di pesisir juga ikut dipengaruhi oleh dampak perubahan iklim. Para Nelayan misalnya, harus melaut dengan jarak yang lumayan jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. “Padahal kapal mereka kapasitasnya tak kuat untuk melaut sampai jauh, tapi kemudian dipaksakan,” kata Yurgen. Dampak itu juga makin diperparah pasca badai seroja terjadi di NTT, khususnya di Kota Kupang. “Dari diskusi dan wawancara yang kami himpun bersama nelayan, ada juga yang selama sebulan tak mendapatkan tangkapan meski sudah melaut.”
Meski dampak wilayah tangkapan ikan itu dipengaruhi banyak faktor bukan hanya perubahan iklim, Yurgen berkata dampak paling nyata terjadi saat ini adalah adanya peningkatan suhu air laut dan angin kencang yang mengancam operasional nelayan.
Sebuah riset yang dilakukan Koaksi Indonesia menyebutkan, panas ekstrim bisa menjadi halangan orang untuk bekerja. Indonesia kehilangan 36 miliar jam kerja per tahunnya yang merupakan dampak hawa panas dan kelembaban tinggi, atau setara 4,76% PDB Indonesia. Saat iklim memanas, Indonesia merupakan negara yang mengalami kemerosotan jumlah jam kerja paling signifikan.
Seperti yang terjadi di NTT, kata Yurgen, upaya untuk mengantisipasi itu semua adalah bagaimana kemudian kita beradaptasi dan melakukan langkah-langkah kecil agar suhu bumi tak terus naik. “Semua pihak bisa menyadari bahwa perubahan iklim ini bukan mitos ya, ini nyata dan ada di hadapan kita maka kemudian yang kita lakukan adalah mau melakukan sesuatu,” kata Yurgen.
Dari pantai Pasir Panjang hingga pedalaman Kawalelo, potret perjuangan melawan perubahan iklim bisa dibilang banyak dilakukan di tingkat akar rumput. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berusaha melindungi lingkungan mereka untuk generasi mendatang.
Namun, tantangan ini tidak bisa diselesaikan sendiri. Dukungan dari pemerintah dan komunitas global sangat diperlukan. Tanpa itu, upaya mereka mungkin hanya menjadi titik kecil dalam gelombang besar masalah lingkungan. Seperti kata Radith “Saya tahu satu hal: kita harus mulai dari suatu tempat. Kalau bukan kita yang menjaga bumi ini, siapa lagi?”.