Yang Palsu dari Solusi Transisi Energi Indonesia

29 Jun 2025 | Penulis: onenews

Yang Palsu dari Solusi Transisi Energi Indonesia

Toronews.blog

Dalam pernyataannya untuk sesi ketiga KTT G20 Brazil pada 19 November 2024 lalu, Prabowo Subianto menyatakan jika Indonesia optimis dapat mencapai target Net Zero Emission sebelum 2050.

Prabowo turut menjelaskan sejumlah solusi yang bakal dilakukan pemerintahannya guna mencapai hal tersebut. 

Solusi pertama, pemerintahannya akan memensiunkan dini seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara dan tenaga fosil lainnya dalam 15 tahun ke depan.

Solusi kedua, untuk mengganti pembangkit listrik yang telah dipensiunkan itu, Prabowo menyebut akan membangun lebih dari 75 gigawatt pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan, juga dalam 15 tahun ke depan.

Akan tetapi, di balik rencana yang seolah berkelanjutan tersebut, masih ada sejumlah hal yang janggal dan perlu dipertanyakan.

Jika ditelisik lebih jauh, solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menekan laju ekstraksi energi fosil justru terkesan palsu. Mengapa demikian?

Gas bumi bukan energi terbarukan

Dalam melaksanakan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, pemerintah tengah dan akan mengarusutamakan pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi yang akan menggerakkan pembangkit listrik yang ada—dan melabelinya sebagai “energi/bahan bakar transisi”. 

PLN, melalui rancangan RUPTL 2024-2033, merencanakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas baru dengan kapasitas sebesar 8.6 GW, hampir dua kali lipat dari penambahan pembangkit listrik tenaga surya baru.

Menyitir RUPTL PLN 2021-2030, gas bumi dinilai sebagai sumber energi yang lebih bersih “karena faktor emisi CO2 bahan bakar gas bumi lebih rendah daripada faktor emisi CO2 bahan bakar BBM.”

Namun, anggapan gas bumi sebagai energi yang lebih bersih karena emisi karbonnya lebih rendah dari batu bara dan minyak bumi tak bisa dimaknai begitu saja.

Sebagian besar gas bumi terdiri dari gas metana yang rawan bocor . Jika bocor, gas metana mampu memerangkap panas 82,5 kali lipat lebih kuat dari karbon dioksida dalam periode 20 tahun sehingga dapat semakin memperparah krisis iklim. Sejak Revolusi Industri, emisi gas metana yang dihasilkan dari kegiatan manusia berperan pada 30 persen peningkatan suhu global.

Gas bumi juga tetaplah energi fosil yang memerlukan proses-proses ekstraktif dan pemanfaatannya sama sekali tak menjawab tantangan iklim. Pada akhirnya pemanfaatan gas bumi justru berpengaruh buruk terhadap transisi energi karena menunda pengembangan energi terbarukan yang sebenarnya. 

Terlebih, dalam satu dekade terakhir, produksi gas bumi Indonesia terus mengalami penurunan. Cadangan gas bumi untuk pembangkit eksisting kian menipis dan diprediksi akan terus menipis dalam tahun-tahun mendatang.

Ironisnya, di tengah menurunnya produksi gas bumi Indonesia, pemerintah justru giat melakukan ekspor gas bumi, menyerap konsumsi hasil produksi gas bumi secara signifikan.

Dengan demikian, mengganti PLTU batu bara menjadi pembangkit listrik bertenaga gas sebenarnya tak ubahnya mengganti satu jenis emisi karbon dengan emisi karbon yang lain. Hal ini justru berpotensi menghambat tercapainya Net Zero Emission 2060, atau sebelum 2050 seperti kata Prabowo.

Co-firing biomassa jadi ancaman buat hutan

Dalam rencana suntik mati PLTU, pemerintah memberlakukan solusi berupa substitusi energi fosil menjadi energi terbarukan (ET). Namun, ET yang dimaksud pemerintah dalam hal ini agaknya dipandang dengan keliru.

Salah satu “ET” yang dikembangkan oleh pemerintah kini adalah pemanfaatan bahan bakar biomassa sebagai campuran untuk memproses batu bara atau yang biasa disebut co-firing pada PLTU Batubara.

Melalui skema ini, biomassa yang berasal dari tumbuhan seperti kayu akan diolah menjadi bahan campuran pembakaran batu bara. Pemerintah memandang skema ini dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik secara signifikan.

Berdasarkan rencana transisi energi Indonesia, pemanfaatan biomassa pada pembangkit listrik batu bara akan menghasilkan 19,7 Terawatt jam dengan 64,5 persen dari total energi yang dihasilkan tersebut akan berasal dari co-firing pada PLTU batu bara.

Akan tetapi, solusi ini justru punya dampak buruk terhadap krisis iklim yang melanda Indonesia dan seluruh belahan dunia lainnya. Skema co-firing biomassa pada pembangkit listrik batu bara justru meningkatkan angka deforestasi secara masif. 

Dengan skema ini, pemrosesan batu bara memerlukan serpihan kayu dan pelet kayu sebagai bahan campuran untuk memproses batu bara. Sementara untuk setiap kayu yang dijadikan bahan campuran, adalah hutan yang selalu jadi korban.

Guna memberlakukan skema co-firing pada PLTU batu bara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyiapkan kawasan hutan energi atau Hutan Tanaman Energi (HTE) sebagai lahan yang dikhususkan sebagai penghasil kayu untuk dijadikan biomassa. Namun, luasan lahan hutan yang dideforestasi untuk menjalankan skema ini sama sekali menjauhkannya dari misi menyelamatkan bumi.

Hasil riset yang dilakukan oleh Trend Asia menunjukkan, untuk menghasilkan 10% bahan campuran pada pembangkit listrik baru bara terbesar di Indonesia, hutan dengan luas setara 35 kali luas DKI Jakarta perlu digunduli. Praktik ini juga pada akhirnya justru menghasilkan emisi CO2 yang lebih besar dari PLTU batu bara dengan teknologi terkini, yakni hampir lima ratus kali lipat.

Dengan skema ini, kawasan hutan Indonesia tengah menghadapi ancaman deforestasi masif karena pemerintah menargetkan tingkat pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik batu bara mencapai 8,05 juta ton pada 2030 dan, di saat yang sama, pembangkit listrik baru dilengkapi teknologi yang dapat memproses 30 persen biomassa.

Selangkah ke belakang dengan PLTU captive

Pensiun dini PLTU batu bara dalam 15 tahun ke depan memang tampak menjanjikan ketika diucapkan. Namun, langkah pemerintah ketika mengecualikan PLTU captive dari rencana pensiun dini justru menunjukkan praktik yang jauh panggang dari api.

PLTU captive merupakan pembangkit listrik tenaga uap milik perusahaan untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka sendiri sehingga tidak termasuk dalam jaringan yang dimiliki PLN. Sejak dilegalkan melalui Perpres Nomor 112 Tahun 2022, PLTU captive justru jadi masalah bagi keberlangsungan lingkungan.

Menukil laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM), kapasitas PLTU captive di Indonesia bertambah 4,5 gigawatt (GW) dari 10,7 GW menjadi 15,2 GW hanya dalam kurun waktu Juli 2023 hingga Juli 2024. 

Angka ini diprediksi akan terus bertambah seiring waktu. Dan hanya dalam rentang waktu dua tahun pada 2026 mendatang, kapasitas PLTU captive diprediksi bakal mencapai 26,24 GW—lebih banyak ketimbang total kapasitas PLTU yang dimiliki Australia kini (22,9 GW).

Dengan angka tersebut, keberadaan PLTU captive kini jadi faktor dominan kenaikan jumlah PLTU di Indonesia dan emisi karbon dari sektor energi.

Tak adanya sinyal penurunan laju pembangunan PLTU captive juga membuat pembangkit listrik milik perusahaan ini berpotensi besar mencemari lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup manusia di sekitarnya.

Pengoperasian PLTU captive tanpa penguatan standar emisi berpotensi menyebabkan Indonesia menanggung 32.000 kematian akibat polusi dan biaya ekonomi sebesar USD 24 miliar sebagai dampak kesehatan kumulatif.

#FokusdiTerbarukan

Meninggalkan energi fosil—dalam bentuk apapun—dan beralih ke energi terbarukan merupakan keharusan, terlebih buat Indonesia yang jadi rumah untuk hutan dengan biodiversitas yang tinggi.

Serupa ucapan delegasi dari banyak negara dalam forum-forum iklim internasional, kita memang seharusnya tidak boleh lagi mengakselerasi pemanfaatan energi fosil yang mengancam keberlangsungan ekosistem.

Masing-masing dari kita telah merasai dampak dari peningkatan suhu bumi yang mencapai 1.63 derajat Celsius pada periode Juni 2023 hingga Mei 2024 lalu.

Sektor energi, yang masih jadi sektor padat emisi, sudah sepatutnya berbenah, menghitung ulang mahalnya air, tanah, dan udara yang selama ini tercemar.

Namun, upaya untuk mengakhiri era energi fosil tak bisa dilakukan setengah hati. Komitmen Pemerintah untuk mempersempit dan tak memberikan ruang bagi pemanfaatan energi fosil perlu dibangun dan dirawat.

Memensiunkan energi fosil tak boleh dimaknai sekadar sebagai peralihan dari satu energi fosil ke energi fosil lainnya. Transisi energi tak memerlukan solusi palsu. Solusi atas transisi energi harus #FokusdiTerbarukan.

 


Komentar