Toronews.blog
Di penghujung tahun 2024, Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, masuk dalam daftar lima pemimpin paling korup di dunia versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Penilaian ini muncul sebagai hasil dari voting yang dilakukan secara global, di mana masyarakat, jurnalis, dan akademisi memberikan suara untuk mengusulkan nominasi. Jokowi bersanding dengan pemimpin lain yang juga disebutkan dalam daftar, hal ini tentu menimbulkan banyak perhatian dan polemik.
Penyebab Masuknya Jokowi dalam Daftar
Masuknya Jokowi dalam daftar ini didasarkan pada penilaian terhadap pemerintahan yang dinilai korup, serta tindakan-tindakan yang dianggap melanggar prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
OCCRP menyoroti bahwa pemerintah yang korup dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, manipulasi pemilu, dan perampasan sumber daya alam. Dalam konteks ini, Jokowi dianggap sebagai salah satu sosok yang berkontribusi terhadap terjadinya kemunduran pemahaman masyarakat terhadap korupsi dan integritas pemerintahan.
OCCRP membuka kesempatan bagi publik untuk memberikan nominasi melalui formulir yang disediakan. Voting ini berlangsung hingga awal Desember 2024 dan melibatkan banyak suara dari berbagai belahan dunia.
Jokowi berhasil mendapatkan cukup banyak dukungan untuk masuk dalam jajaran finalis, menunjukkan bahwa pandangan terhadap pemerintahannya sangat beragam, baik di dalam maupun luar negeri.
OCCRP sendiri merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Lembaga independent itu merilis sederet finalis yang masuk Person of the Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi atau Person of the Year 2024 in Organized Crime and Corruption.
Lima Tokoh Lainnya dalam Daftar
Selain Jokowi, terdapat empat tokoh lainnya yang juga masuk dalam daftar ini. Mereka adalah Presiden Kenya, William Ruto; Presiden Nigeria, Bola Ahmed Tinubu; mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina; serta pengusaha India, Gautam Adani.
Semua nama-nama rersebut masuk dalam kategori serupa, dengan berbagai tuduhan dan isu korupsi di negara masing-masing.
ini tidak hanya mencakup tindakan individu, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap kesejahteraan masyarakat dan stabilitas politik.
Indeks Korupsi di Indonesia Era Jokowi Semakin Naik
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia menjadi salah satu indikator untuk menilai seberapa besar korupsi yang terjadi di dalam negeri.
Selama era kepemimpinan Jokowi, indeks ini mengalami fluktuasi yang mempengaruhi citra negara dalam hal integritas pemerintahan.
Tahun 2014, saat Jokowi pertama kali menjabat, Indonesia memiliki IPK sebesar 34. Sejak saat itu, terjadi beberapa perbaikan kecil, dengan angka tertinggi mencapai 40 pada tahun 2019.
Namun, pasca 2019, indeks mengalami penurunan lagi menjadi 37 dan bahkan kembali ke angka 34 pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya pemberantasan korupsi, hasil yang dicapai tidak selalu konsisten. Berikut adalah nilai indeks pada tahun-tahun tertentu
-
2014: 34
-
2015: 36
-
2016: 37
-
2017: 37
-
2018: 38
-
2019: 40
-
2020: 37
-
2021: 38
-
2022: 34
-
2023: 34
Rekapitulasi nilai ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi beberapa tahun dengan peningkatan, Indonesia tetap mengalami kesulitan dalam meningkatkan citra pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Dampak Kenaikan dan Penurunan Indeks
Penurunan indeks tidak hanya berdampak pada citra internasional Indonesia, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik.
Hal ini berimbas pada kinerja pemerintahan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, di mana kekecewaan masyarakat bisa menciptakan ketidakpuasan dan potensi gejolak sosial.
Upaya untuk memperbaiki indeks ini memerlukan komitmen yang kuat dari semua level pemerintahan dan masyarakat.
Pernyataan Tanggapan PDIP Tentang Jokowi
Setelah berita mengenai masuknya Jokowi ke dalam daftar tokoh paling korup ini beredar, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP merilis pernyataan resmi menanggapi tuduhan yang dialamatkan kepada Jokowi. Mereka menilai bahwa laporan OCCRP sangat tendensius dan berpotensi merugikan nama baik presiden.
PDIP menekankan bahwa Jokowi telah berkomitmen untuk memerangi korupsi selama masa kepemimpinannya, dan segala tuduhan yang tidak berdasar harus dipertimbangkan dengan hati-hati sebelum diambil tindakan lebih lanjut.
Dalam pernyataannya, PDIP juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan menyelidiki laporan tersebut. Juru bicara PDIP, Guntur Romli, menegaskan bahwa KPK harus proaktif dalam menanggapi berita-berita yang berpotensi mencemari nama baik pejabat publik, termasuk presiden.
Mereka berharap KPK dapat melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan independensi dan integritasnya dengan melakukan pengawasan yang ketat.
PDIP berpandangan bahwa investigasi yang diperlukan seharusnya tidak hanya terbatas pada presiden, tetapi juga harus melibatkan penelusuran terhadap korupsi yang mungkin terjadi dalam berbagai sektor pemerintahan.
Ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat citra pemerintah dalam menanggulangi korupsi. Mereka ingin agar KPK mengedepankan bukti dan penyelidikan yang transparan agar hasilnya dapat dipercaya oleh masyarakat.