Toronews.blog
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan presiden dalam UU Pemilu pada Kamis (2/1/2025).
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo yang didampingi oleh delapan hakim konstitusi lain.
Keputusan ini diambil dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diselenggarakan Jakarta.
Dengan dihapusnya ketentuan ambang batas pencalonan ini, kini kesempatan partai politik peraih kursi di DPR untuk menugusung capres-cawapres pilihan mereka, terbuka.
Uji materi aturan presidential threshold pada Pilpres ini dimohonkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dalam pembacaan amar putusan, MK menjelaskan beberapa alasan yang mendasari penghapusan ketentuan yang sudah dianut Indonesia sejak Pilpres 2004 lalu tersebut.
Melansir situs resmi MK, berikut alasan-alasan yang mendasari MK menghapus presidential threshold.
1. Tidak berkeadilan
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengungkapkan, salah satu faktor mendasari MK menghapus presidential threshold adalah praktik dari aturan ini justru dinilai tidak berkeadilan.
Dalam penjelasannya, MK menilai bahwa pengusulan pasangan capres-cawapres oleh partai politik adalah hak konstitusional yang dilindungi, namun aturan ambang batas justru berkebalikan dari itu.
Dengan presidential threshold, suatu partai yang tak memenuhi presidential threshold pada pemilu legislatif sebelumnya tak dapat mengusung pasangan capres-cawapres, kendati partai tersebut sebenarnya berhasil mendapat kursi di DPR.
"Dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata Saldi Isra.
2. Penetapannya lekat dengan benturan kepentingan
Tak hanya bertentangan dengan hak konstitusional partai politik, praktik penetapan besaran ambang batas minimal pencalonan presiden juga dinilai sarat akan benturan kepentingan.
"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk tidak memiliki benturan kepentingan," tutur Saldi Isra.
Benturan kepentingan ini kemudian membuat besaran batas minimal pencalonan presiden tidak didasari oleh perhitungan yang jelas dan dengan rasionalisasi yang kuat.
Keadan tersebut, dijelaskan MK, berperan dalam menciptakan arena politik yang tidak adil untuk semua partai politik, terutama partai politik baru.
3. Peruncing polarisasi pemilu
Selain itu, alasan MK menghapus ambang batas pencalonan juga didasari oleh pengamatan MK atas pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya.
Dalam pengamatan MK, penerapan ambang batas pencalonan dalam pilpres yang sudah-sudah cenderung membatasi hak pemilih mendapatkan alternatif capres-cawapres yang memadai.
MK menjelaskan jika mereka mengamati bahwa pemilu yang sudah-sudah cenderung mengupayakan diusungnya dua paslon saja dan pada akhirnya menjadi faktor penajaman polarisasi yang mengancam kebhinekaan.
Jika dilanjutkan, terdapat kekhawatiran pemilih akan terjebak dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan kandidat tunggal.
Kekhawatiran ini didasari pada kecenderungan pilkada yang makin ke sini makin banyak calon tungga melawan kotak kosong.
4. Ketidakcocokan logika
Alasan lainnya, MK menilai ada ketidakcocokan antara dalam logika penerapan ambang batas pencalonan presiden dengan perolehan kursi DPR oleh partai.
Menurut MK, kendati pilpres kini dilaksanakan secara serentak bersama pileg, namun mandat eksekutif dan legislatif diberikan rakyat secara terpisah.
Dengan menjadikan perolehan kursi partai di DPR sebagai dasar pengusungan calon presiden, MK menilai hal tersebut sebagai pemaksaan logika parlementer dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia.