MK Hapus Presidential Threshold, Pilihan Capres Bisa Lebih Beragam tapi Bukan Berarti Tanpa Persoalan

28 Jun 2025 | Penulis: onenews

MK Hapus Presidential Threshold, Pilihan Capres Bisa Lebih Beragam tapi Bukan Berarti Tanpa Persoalan

Toronews.blog

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold memberikan harapan terhadap munculnya figur calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam. Namun di sisi lain, keputusan ini juga memunculkan kekhawatiran terkait dampak negatif dari kompetisi yang terbuka lebar.

Melahirkan Prinsip Demokrasi yang Inklusif

Salah satu nilai utama dari penghapusan presidential threshold (PT) adalah penguatan prinsip inklusivitas dalam demokrasi. Selama ini, aturan PT minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu menghambat banyak pihak untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Dengan dihapuskannya aturan tersebut, setiap partai politik yang memenuhi syarat administratif dapat mencalonkan kandidatnya tanpa terkendala perolehan suara di parlemen.

Akibatnya, peluang figur-figur potensial di luar struktur kekuasaan besar sering kali tersumbat. Situasi ini sama saja dengan menciptakan ketidakadilan politik warga negara yang sebenarnya dilindungi konstitusi.

Dengan dihapuskannya aturan tersebut, setiap partai politik yang memenuhi syarat administratif dapat mencalonkan kandidatnya tanpa terkendala perolehan suara di parlemen. Hal ini membuka ruang bagi lebih banyak figur potensial, termasuk tokoh-tokoh nonpartai yang selama ini terpinggirkan dengan dukungan yang cukup bisa menjadi penantang baru di panggung politik nasional.

Inklusivitas ini juga memperkuat prinsip persamaan hak dalam demokrasi, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan maupun dicalonkan.

“Kalau pakai PT, artinya hanya mereka yang memiliki dukungan politik besar yang bisa maju. Padahal, mendapat dukungan seperti itu sangat sulit bagi orang-orang di luar sistem kepartaian,” kata Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay.

Meningkatkan Kompetisi Politik yang Sehat dan Partisipasi Pemilih

Penghapusan presidential threshold juga diyakini dapat meningkatkan kompetisi politik yang sehat. Dalam sistem sebelumnya, dominasi partai-partai besar seringkali membatasi munculnya alternatif kepemimpinan. Kandidat yang muncul cenderung merupakan hasil kompromi antarpartai besar, sehingga sering kali tidak mencerminkan aspirasi penuh masyarakat.

Dengan tidak adanya batasan threshold, partai-partai kecil maupun koalisi alternatif dapat dengan lebih leluasa mengajukan calon mereka. Hal ini akan memacu partai-partai besar untuk bekerja lebih keras dalam menawarkan program dan visi-misi yang relevan bagi rakyat. Persaingan yang lebih ketat ini pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas debat publik serta memperkaya pilihan politik yang tersedia bagi masyarakat.

Keputusan MK ini mengingatkan kita pada esensi demokrasi: kedaulatan rakyat. Dengan memberikan peluang lebih luas kepada berbagai kandidat, rakyat memiliki lebih banyak opsi untuk memilih pemimpin yang mereka anggap terbaik.

Dengan terbukanya peluang bagi lebih banyak kandidat, partisipasi politik masyarakat diharapkan meningkat. Keberagaman pilihan dalam pemilu dapat menarik perhatian masyarakat yang sebelumnya apatis terhadap politik. Mereka yang merasa tidak terwakili oleh kandidat-kandidat dari partai besar kini memiliki peluang untuk mendukung figur alternatif yang lebih dekat dengan aspirasi mereka.

 

Peningkatan partisipasi ini juga berpotensi memperkuat legitimasi pemimpin terpilih. Dengan tingkat partisipasi yang lebih tinggi, pemimpin yang terpilih akan memiliki mandat yang lebih kuat dari rakyat. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas politik dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan.

Memberikan Kesempatan kepada Tokoh Independen dan Profesional

Salah satu kritik utama terhadap sistem presidential threshold adalah minimnya kesempatan bagi tokoh-tokoh independen dan profesional untuk maju sebagai calon presiden. Indonesia memiliki banyak individu berbakat di berbagai bidang—akademisi, profesional, aktivis, dan tokoh masyarakat—yang memiliki kapasitas untuk memimpin, namun terhambat oleh aturan yang mewajibkan dukungan partai politik besar.

Dengan dihapuskannya presidential threshold, figur-figur independen yang memiliki integritas dan kompetensi dapat lebih mudah masuk ke arena politik nasional. Hal ini dapat mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih beragam, serta membawa perspektif baru dalam pengelolaan negara.

Selain itu, keterlibatan tokoh-tokoh independen juga dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, karena masyarakat melihat bahwa politik bukan lagi domain eksklusif partai-partai besar.

“Mereka ini sebenarnya aset bangsa, tetapi sistem kita selama ini membuat mereka tidak memiliki peluang untuk maju sebagai capres atau cawapres,” ungkap Saleh.

Memperkuat Akuntabilitas Partai Politik

Dalam sistem tanpa threshold, partai-partai politik akan lebih bertanggung jawab dalam mengajukan kandidat. Tidak adanya batasan kuantitatif memaksa partai untuk lebih fokus pada kualitas kandidat yang mereka usung, karena elektabilitas kandidat tersebut sepenuhnya bergantung pada penerimaan masyarakat. Dengan kata lain, partai tidak lagi dapat mengandalkan kekuatan koalisi semata, tetapi harus menawarkan calon yang benar-benar mampu menarik dukungan rakyat.

Selain itu, keputusan ini juga dapat memacu partai-partai untuk lebih dekat dengan konstituen mereka. Partai akan lebih berorientasi pada kebutuhan dan aspirasi rakyat, karena keberhasilan mereka dalam mencalonkan kandidat bergantung pada sejauh mana kandidat tersebut dapat mewakili kepentingan masyarakat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menyampaikan keputusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 peluang berharga bagi partai politik untuk menunjukkan kemampuan kaderisasi yang sesungguhnya.

Menurut Ninis, sapaan akrabnya, putusan MK ini membuka ruang bagi setiap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan kader terbaiknya tanpa perlu berkoalisi. Namun, kesempatan ini hanya akan menjadi nyata jika partai mampu membenahi kelembagaan mereka.

“Kita punya waktu tiga tahun sejak putusan MK dibacakan pada 2025 hingga pendaftaran calon peserta Pilpres 2029 pada 2028,” ujar Ninis dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (6/1/2025).

“Artinya, sekarang partai politik harus berbenah untuk memastikan fungsi kelembagaan mereka berjalan dengan baik.”

Titi Anggraini, pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menggemakan seruan serupa. Ia menggarisbawahi bahwa penghapusan presidential threshold sepenuhnya membuka jalan bagi seluruh partai politik peserta pemilu untuk mendaftarkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, ia menekankan bahwa kesiapan internal partai, khususnya untuk partai non-parlemen, menjadi kunci utama agar mampu bersaing dalam Pemilu 2029.

“Partai-partai, terutama yang non-parlemen, harus mempersiapkan kelembagaan dan konsolidasi internal sejak sekarang untuk memastikan lolos menjadi peserta pemilu. Harus diingat bahwa yang bisa mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik peserta pemilu,” jelas Titi.

Ia juga menambahkan, meskipun terlalu dini untuk berbicara tentang peta politik 2029, langkah awal ini penting bagi partai politik untuk mencalonkan tidak hanya kader internal, tetapi juga tokoh-tokoh alternatif yang membawa nilai tambah bagi partai.

“Partai politik akan menyiapkan diri secara internal agar mereka memiliki tokoh-tokoh alternatif yang mampu memberi insentif positif terhadap eksistensi partai,” ujar Titi.

Mendorong Reformasi Sistem Pemilu

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold membuka peluang besar untuk memperbaiki sistem pemilu Indonesia. Dengan penghapusan ini, reformasi dapat difokuskan pada upaya menciptakan proses pemilu yang transparan, adil, dan berintegritas. Penyederhanaan proses pencalonan, pengawasan ketat terhadap dana kampanye, dan penegakan hukum atas praktik politik uang menjadi agenda penting dalam pembenahan tersebut.

Lebih jauh, keputusan ini juga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam demokrasi Indonesia, termasuk munculnya debat publik yang lebih substansial. Dengan lebih banyak kandidat yang berlaga, masyarakat akan disuguhkan ragam perspektif serta gagasan segar untuk menyelesaikan permasalahan nasional. Proses ini diharapkan dapat memperkuat demokrasi deliberatif dan memperluas partisipasi publik dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Caroline Paskarina, Pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), menekankan pentingnya pengawalan revisi undang-undang kepemiluan sebagai respons terhadap keputusan ini. Menurutnya, langkah tersebut krusial untuk memastikan reformasi berjalan sistemis dan berkelanjutan. 

"Tentunya masih harus dikawal dengan revisi UU kepemiluan sehingga pembenahan secara sistemis bisa dilakukan," ujar Caroline, Senin.

Ia berharap keputusan ini dapat memperluas kompetisi antarpartai politik, sehingga figur-figur dengan rekam jejak unggul memiliki peluang lebih besar untuk maju. “Putusan MK ini bisa menjadi katalis, bukan hanya untuk membuka peluang bagi figur-figur terbaik, tetapi juga untuk memperkuat kelembagaan partai politik itu sendiri,” tegasnya. Caroline juga mendorong partai politik untuk memanfaatkan momentum ini dengan membenahi mekanisme rekrutmen dan kandidasi, agar partai tidak hanya berfungsi sebagai alat pencalonan semata, tetapi juga institusi yang mempersiapkan kader terbaik.

Senada dengan Caroline, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), Prof. Asrinaldi, menyoroti pentingnya menyaring calon pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam memimpin. Menurutnya, pengalaman dalam pemerintahan dan politik harus menjadi syarat utama pencalonan, sebagaimana diatur dalam Putusan MK sebelumnya, Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mensyaratkan calon presiden memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.

“Saya pikir perlu ada tambahan terkait pengalaman sebagai pemimpin, khususnya dalam memimpin pemerintahan dan politik,” ujarnya, Minggu. “Seorang calon presiden itu ya perlu punya pengalaman terkait dengan itu. Jadi, bukan ujug-ujug muncul begitu saja.”

Asrinaldi berpendapat, pengalaman tersebut merupakan mekanisme seleksi alami untuk memastikan calon pemimpin memiliki visi kebangsaan yang kuat dan kemampuan membangun bangsa. "Walaupun ini mungkin akan menjadi perdebatan, tetapi persyaratan tersebut perlu diatur," tambahnya. “Ini akan memastikan bahwa yang menjadi presiden dan wakil presiden adalah orang-orang yang memang punya pengalaman nyata dalam politik dan pemerintahan.”

Lebih jauh, ia menekankan bahwa reformasi ini bukan sekadar memberikan ruang lebih luas bagi kandidat, tetapi juga menyaring calon yang kompeten dan berintegritas. Asrinaldi percaya penghapusan presidential threshold dapat menjadi momentum strategis untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang siap menghadapi tantangan masa depan Indonesia.

“Ini perlu dibahas secara mendalam karena nantinya akan menjadi persyaratan politik yang relevan dengan dinamika demokrasi kita,” pungkasnya.

Dengan pengawalan yang konsisten dan reformasi yang terarah, keputusan MK ini memiliki potensi besar untuk membentuk sistem pemilu yang lebih inklusif dan berkualitas, menghasilkan pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga membawa visi yang mampu menjawab tantangan zaman.

Namun, harapan positif atas putusan MK bisa saja jauh panggang dari api. Sistem partai politik Indonesia, yang hingga kini didominasi kecenderungan feodalisme dan berorientasi pada oligarki, menciptakan hambatan besar bagi figur-figur potensial yang tidak memiliki jaringan politik atau modal besar. Dalam banyak kasus, kontestasi politik masih dikuasai oleh elite-elite partai yang lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus presidential threshold membuka peluang bagi lebih banyak calon presiden di ajang pemilihan umum. Namun, peluang ini juga membawa tantangan serius, terutama terkait risiko meningkatnya politik transaksional, konflik, dan praktik dagang sapi dalam proses politik.

Rawan Politik Uang dan Transaksional

Dengan tidak adanya ambang batas pencalonan, lebih banyak kandidat yang akan berlaga. Dalam kondisi seperti ini, risiko politik uang menjadi semakin besar. Untuk mendapatkan dukungan, baik dari partai politik maupun masyarakat, para kandidat bisa saja menggunakan sumber daya finansial secara berlebihan, baik untuk membiayai kampanye, membeli suara, maupun memengaruhi elite politik lainnya. Politik transaksional yang sudah menjadi masalah akut dalam demokrasi Indonesia berpotensi semakin mengakar.

Sebagai contoh, kandidat yang memiliki sumber daya finansial besar namun minim visi kebangsaan bisa saja mendominasi pemilu melalui kekuatan uang. Hal ini tidak hanya menurunkan kualitas demokrasi, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih eksklusif, di mana hanya kandidat dengan kekuatan ekonomi besar yang mampu bersaing.

Potensi Konflik

Banyaknya kandidat juga membuka risiko terjadinya konflik selama masa kampanye maupun setelah pemilu. Dengan fragmentasi yang tinggi, persaingan antarkandidat dan pendukung mereka menjadi lebih intens.

Selain itu, hasil pemilu yang tidak menghasilkan pemenang dengan suara mayoritas dapat memicu ketidakpuasan publik dan memunculkan klaim delegitimasi terhadap pemerintahan yang terbentuk. Dalam kondisi ini, stabilitas politik dan pemerintahan dapat terganggu, terutama jika pihak yang kalah tidak menerima hasil dengan baik.

Risiko Dagang Sapi dalam Putaran Kedua

Jika tidak ada kandidat yang mendapatkan lebih dari 50% suara dalam putaran pertama, sistem pemilu Indonesia mengharuskan adanya putaran kedua. Kondisi ini membuka ruang bagi praktik politik dagang sapi, di mana kandidat yang lolos ke putaran kedua harus membangun koalisi dengan partai-partai yang sebelumnya mengusung kandidat lain. Dalam banyak kasus, kesepakatan politik ini sering kali berorientasi pada pembagian kekuasaan, bukan pada kepentingan rakyat.

Fenomena ini tidak hanya merusak moral politik, tetapi juga melemahkan legitimasi pemerintahan. Pemerintah yang terbentuk dari negosiasi politik pragmatis biasanya lebih sibuk memenuhi tuntutan koalisi daripada melayani kepentingan masyarakat luas.

Mitos Demokrasi Berkualitas: Banyak Calon Bukan Solusi

Peningkatan jumlah calon presiden sering kali dilihat sebagai tanda demokrasi yang sehat. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa banyaknya calon belum tentu mencerminkan kualitas demokrasi. Demokrasi yang baik tidak hanya ditentukan oleh kuantitas kandidat, tetapi juga oleh mekanisme yang menjamin bahwa mereka yang maju adalah individu dengan kompetensi, integritas, dan visi kebangsaan yang jelas.

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang telah menunjukkan bahwa demokrasi berkualitas tidak selalu berarti banyaknya kandidat. Sistem pemilu yang adil, transparan, dan berintegritas jauh lebih penting dalam memastikan bahwa rakyat memiliki akses untuk memilih pemimpin terbaik.

Tantangan Legislasi: Menyesuaikan Sistem Pemilu

Keputusan MK untuk menghapus presidential threshold harus diikuti dengan revisi Undang-Undang Pemilu yang mencakup aturan teknis mengenai jumlah kandidat, mekanisme putaran kedua, dan sistem perhitungan suara. Tanpa revisi ini, penghapusan threshold berpotensi menciptakan kebingungan dalam penyelenggaraan pemilu.

Salah satu isu utama yang harus diatur adalah sistem penghitungan suara dalam konteks banyaknya kandidat. Sistem mayoritas 50+1 harus dievaluasi ulang, karena semakin banyak kandidat, semakin sulit bagi satu orang untuk mencapai suara mayoritas. Dalam kondisi seperti ini, sistem alternatif seperti "ranked-choice voting" atau sistem distribusi suara dapat dipertimbangkan untuk mengurangi potensi konflik di putaran kedua.

Selain itu, regulasi yang tegas mengenai pengawasan dana kampanye dan sanksi atas pelanggaran politik uang juga harus diperkuat. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kompetisi politik berjalan secara adil dan transparan.

Lemahnya Legitimasi Pemenang

Salah satu konsekuensi signifikan dari penghapusan presidential threshold adalah potensi rendahnya legitimasi politik bagi pemenang pemilu. Tanpa ambang batas pencalonan, jumlah kandidat presiden dapat meningkat tajam, sehingga suara pemilih akan terpecah ke banyak arah. Akibatnya, seorang calon dapat memenangkan pemilu meski hanya dengan memperoleh persentase suara yang sangat kecil dari total suara yang sah.

Dalam konteks demokrasi, legitimasi politik seorang pemimpin sering kali diukur dari besarnya dukungan yang ia terima. Jika seorang presiden terpilih hanya didukung oleh, misalnya, 20-30% suara, legitimasi kepemimpinannya bisa dipertanyakan, terutama di mata mereka yang tidak memilihnya. Hal ini menjadi lebih serius dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi, di mana basis dukungan politik cenderung bersifat eksklusif dan sektarian.

Ketika pemenang pemilu tidak meraih mayoritas suara signifikan, ia berpotensi menghadapi tantangan besar dalam menjalankan pemerintahan. Dukungan publik yang rendah dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan terhadap kebijakan yang diambil, bahkan memicu resistensi dari kelompok-kelompok tertentu. Di parlemen, presiden dengan legitimasi rendah kemungkinan besar akan menghadapi oposisi yang lebih kuat, mengingat fraksi-fraksi partai politik merasa tidak cukup terwakili dalam proses pencalonan atau pemerintahan.

Kondisi ini menciptakan pemerintah minoritas, di mana presiden harus terus-menerus melakukan negosiasi politik untuk meloloskan kebijakan. Pemerintahan semacam ini rawan menjadi tidak stabil karena lebih mengandalkan konsesi politik daripada fokus pada implementasi program kerja yang konsisten dan strategis.

Dalam sistem demokrasi, presiden idealnya adalah simbol persatuan nasional yang merepresentasikan aspirasi seluruh rakyat, bukan hanya sebagian kecil. Namun, jika suara pemilih sangat terfragmentasi, mandat nasional tersebut sulit terbentuk. Presiden dengan dukungan suara rendah dapat dianggap hanya mewakili kelompok tertentu, baik berdasarkan geografis, ideologis, maupun sektoral.

Sebagai contoh, jika pemenang hanya memperoleh dukungan signifikan di satu atau dua wilayah besar, maka wilayah lainnya dapat merasa teralienasi. Ketimpangan ini berpotensi memperkuat sentimen disintegrasi regional, terutama di negara besar seperti Indonesia yang memiliki keragaman budaya, etnis, dan kepentingan lokal yang tinggi.

Studi Kasus: Pemilu dengan Legitimasi Rendah

Sejarah demokrasi di berbagai negara menunjukkan risiko dari rendahnya legitimasi politik seorang pemimpin. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin, pemilu dengan banyak kandidat sering menghasilkan pemenang dengan suara minoritas. Hal ini sering kali memicu demonstrasi besar-besaran dan gelombang protes terhadap pemerintah, karena kelompok oposisi merasa bahwa presiden tidak memiliki legitimasi moral untuk memimpin. Dalam kasus yang lebih ekstrem, situasi ini bahkan dapat berujung pada instabilitas politik dan pergantian pemerintahan sebelum masa jabatan selesai.

Di Indonesia sendiri, meskipun sistem presidential threshold sebelumnya membantu menyaring jumlah kandidat, pengalaman pilpres yang sangat kompetitif seperti pada 2014 dan 2019 menunjukkan bagaimana sengitnya persaingan dapat memicu polarisasi tajam. Tanpa legitimasi kuat dari mayoritas suara, presiden terpilih berpotensi menghadapi tantangan yang lebih berat dalam mempersatukan bangsa.

Solusi: Membangun Sistem yang Memperkuat Legitimasi

Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada pembenahan dalam sistem pemilu Indonesia. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Pengaturan Sistem Voting Alternatif: Sistem seperti ranked-choice voting atau two-round system dapat membantu memastikan bahwa pemenang pemilu memiliki legitimasi suara yang lebih tinggi. Dalam sistem ini, pemilih dapat memberikan peringkat pada calon presiden berdasarkan preferensi mereka. Jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas, suara dari kandidat dengan perolehan terendah akan dialokasikan kembali berdasarkan preferensi kedua pemilih, hingga tercapai mayoritas.

  2. Penguatan Aturan Kampanye: Pengawasan yang ketat terhadap dana kampanye dan praktik politik uang diperlukan untuk memastikan bahwa dukungan yang diperoleh kandidat benar-benar berbasis aspirasi rakyat, bukan hasil transaksi finansial atau politik pragmatis.

  3. Pendidikan Politik dan Keterlibatan Publik: Masyarakat perlu didorong untuk lebih memahami pentingnya partisipasi dalam pemilu dan implikasi dari pilihan mereka. Dengan demikian, pemilih dapat lebih bijak dalam menentukan calon yang memiliki kapasitas dan visi kepemimpinan yang jelas.

  4. Revisi Sistem Koalisi Partai Politik: Partai politik perlu memperkuat koalisi berbasis ideologi atau platform kebijakan. Koalisi semacam ini dapat membantu menyaring kandidat presiden yang memiliki basis dukungan lebih solid, sekaligus mengurangi risiko fragmentasi suara.

Reformasi sistem pemilu harus dirancang untuk memastikan bahwa presiden terpilih tidak hanya menang secara prosedural, tetapi juga memiliki mandat yang kuat untuk memimpin bangsa. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat berkembang ke arah yang lebih matang dan inklusif, sekaligus mengurangi risiko instabilitas politik di masa depan.

 


Komentar