Toronews.blog
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana kontroversial untuk mengambil alih Jalur Gaza dan mengubahnya menjadi kawasan wisata kelas dunia, dengan menyingkirkan warga Palestina yang saat ini tinggal di wilayah tersebut.
Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2/2025), Trump menegaskan bahwa AS akan "memiliki" Gaza dan mengembangkan wilayah itu menjadi destinasi internasional.
"Semua orang yang saya ajak bicara menyukai ide Amerika Serikat memiliki tanah itu, mengembangkannya, dan menciptakan ribuan lapangan kerja dengan sesuatu yang luar biasa," kata Trump setelah pertemuan selama tiga jam dengan Netanyahu.
Presiden AS itu menegaskan bahwa warga Palestina tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan Gaza dan pindah ke tempat lain yang lebih "baik, segar, dan indah" tanpa kemungkinan untuk kembali. Ia kembali menyerukan agar Yordania dan Mesir menerima warga Palestina yang terusir, serta mengajak negara-negara lain yang belum disebutkan untuk turut menampung mereka.
Ketika ditanya apakah negara-negara Arab akan menerima rencananya, Trump mengklaim bahwa Yordania dan Mesir mungkin bisa menolak permintaan dari pendahulunya, Joe Biden, tetapi tidak terhadap dirinya.
Namun, hingga saat ini, Yordania dan Mesir telah menolak gagasan menampung warga Palestina yang terusir dari Gaza. Rencana pemindahan paksa ini juga dikecam oleh Hamas, Otoritas Palestina, serta negara-negara kawasan seperti Turki.
Gaza sebagai ‘Riviera Timur Tengah’
Trump menggambarkan kondisi Gaza saat ini sebagai "situs pembongkaran", dengan hampir semua bangunan telah hancur.
"Hampir setiap bangunan sudah rata. Mereka tinggal di bawah reruntuhan beton yang sangat berbahaya dan tidak stabil," ujarnya.
Trump mengklaim bahwa warga Palestina akan lebih baik jika dipindahkan ke lokasi lain yang lebih aman, di mana mereka bisa "hidup dengan damai dan harmonis, tanpa harus kembali dan mengalami kehancuran lagi."
Ketika ditanya siapa yang akan tinggal di Gaza setelah diambil alih AS, Trump mengatakan, "Orang-orang dari seluruh dunia."
"Saya pikir kita akan mengubahnya menjadi tempat internasional yang luar biasa. Saya pikir potensinya luar biasa," kata Trump.
"Dan saya pikir seluruh dunia… akan ada di sana, dan mereka akan tinggal di sana. Palestina juga. Palestina akan tinggal di sana."
Namun, saat ditekan lebih lanjut mengenai apakah warga Palestina yang telah diusir akan diizinkan kembali ke Gaza, Trump tidak memberikan jawaban yang jelas.
Trump juga tidak menutup kemungkinan penggunaan pasukan AS untuk memastikan kontrol atas Gaza, dengan alasan bahwa hanya kendali AS yang dapat membawa "stabilitas besar di kawasan Timur Tengah itu."
"Amerika Serikat akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami akan mengurusnya dengan baik. Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk membersihkan semua bom yang belum meledak serta senjata berbahaya di sana."
Trump Ingin Tepi Barat Jadi Wilayah Israel
Dalam konferensi pers tersebut, Trump juga membahas kemungkinan pengakuan AS terhadap kedaulatan Israel atas Tepi Barat, sebuah langkah yang bertentangan dengan hukum internasional.
"Kami sedang mendiskusikannya dengan banyak perwakilan Anda. Anda memiliki perwakilan yang sangat baik… tetapi kami belum mengambil keputusan mengenai hal itu," katanya.
Trump menambahkan bahwa ia akan membuat keputusan terkait aneksasi Israel atas Tepi Barat dalam waktu empat minggu.
Selain itu, Trump juga menyinggung potensi peran pemimpin Arab dalam mewujudkan rencananya.
"Saya merasa bahwa Raja Yordania dan Jenderal di Mesir akan membuka hati mereka dan memberi kami tanah yang kami butuhkan untuk menyelesaikan ini," kata Trump, merujuk pada Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi.
Baik Yordania maupun Mesir adalah penerima utama bantuan militer AS setelah Israel. Menurut data Departemen Luar Negeri AS dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), kedua negara itu menerima lebih dari $1,5 miliar bantuan dari Washington pada tahun 2023, sementara Israel menerima lebih dari $3,3 miliar.
Ketika ditanya apakah Arab Saudi masih bersikeras untuk mensyaratkan negara Palestina sebelum menormalisasi hubungan dengan Israel, Trump menyiratkan bahwa Riyadh tidak lagi menganggap pembentukan negara Palestina sebagai prasyarat.
Namun, Saudi Arabia menegaskan bahwa komitmennya terhadap solusi dua negara tetap "tegas dan tak tergoyahkan."
Netanyahu Puji Kebijakan Konyol Trump
Menanggapi hal itu, Netanyahu menyatakan optimismenya terhadap perdamaian dengan Arab Saudi.
"Saya pikir perdamaian antara Israel dan Arab Saudi bukan hanya mungkin, tetapi saya yakin itu akan terjadi," ujar Netanyahu.
"Saya berkomitmen untuk mewujudkannya."
Netanyahu juga memuji Trump sebagai "sahabat terbesar yang pernah dimiliki Israel di Gedung Putih."
"Dalam dua minggu pertama masa jabatan kedua Anda, Anda telah melanjutkan kebijakan Anda sebelumnya. Kepemimpinan Anda membantu membawa pulang sandera kami, termasuk warga negara Amerika," kata Netanyahu.
Ia juga berterima kasih kepada Trump karena telah mencabut sanksi yang sebelumnya dijatuhkan pemerintahan Biden terhadap pemukim Israel yang menyerang warga Palestina, serta karena telah menghentikan pendanaan untuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
"Semua ini terjadi hanya dalam dua minggu. Bisa Anda bayangkan di mana kita akan berada dalam empat tahun ke depan?" ujar Netanyahu.
Dikecam oleh Palestina dan Komunitas Internasional
Rencana Trump segera mendapat kecaman luas dari Palestina, negara-negara Arab, serta sekutu AS.
"Apa yang Trump usulkan adalah contoh nyata dari pembersihan etnis di Gaza, versi abad ke-21 dari ‘solusi akhir’ terhadap masalah Palestina," kata Balakrishnan Rajagopal, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas perumahan yang layak, kepada Middle East Eye (MEE).
Namun, apakah rencana Trump ini melanggar hukum internasional?
Apa Itu Pembersihan Etnis?
Istilah "pembersihan etnis" berasal dari perang Yugoslavia pada 1990-an dan merupakan terjemahan dari "etnicko ciscenje" dalam bahasa Serbia-Kroasia. Secara luas, istilah ini merujuk pada pengusiran paksa suatu kelompok etnis dari wilayah yang mereka tempati untuk menjadikannya homogen secara etnis.
Pada Februari 1993, Komisi Ahli PBB yang menyelidiki pelanggaran hukum humaniter internasional di bekas Yugoslavia mendefinisikan pembersihan etnis sebagai "upaya menjadikan suatu wilayah homogen secara etnis dengan menggunakan kekuatan atau intimidasi untuk mengusir kelompok tertentu dari wilayah tersebut."
Setahun kemudian, komisi tersebut menambahkan bahwa pembersihan etnis adalah "kebijakan yang dirancang oleh suatu kelompok etnis atau agama untuk mengusir kelompok lain dari suatu wilayah melalui kekerasan dan teror."
Komisi itu juga menyatakan bahwa pembersihan etnis dapat dilakukan melalui kejahatan internasional serius, seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Apakah Pembersihan Etnis Memiliki Status Hukum?
Secara hukum, istilah "pembersihan etnis" tidak memiliki definisi resmi dan tidak diakui sebagai kejahatan tersendiri. Namun, dalam konteks perang di Gaza, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencakup pengusiran paksa, deportasi, dan pemindahan paksa populasi sipil.
Menurut hukum humaniter internasional, deportasi atau pemindahan paksa penduduk sipil adalah kejahatan perang. Jika dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau luas terhadap populasi sipil, tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma yang menjadi dasar hukum ICC.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menegaskan bahwa larangan terhadap deportasi dan pemindahan paksa adalah bagian dari hukum internasional yang berlaku untuk semua negara, terlepas dari apakah mereka menerima yurisdiksi ICC atau tidak.
Ardi Imseis, profesor hukum internasional di Queen's University dan penulis The UN and the Question of Palestine, mengatakan kepada MEE:
"Menurut hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional, pemindahan paksa individu atau kelompok dalam jumlah besar, serta deportasi penduduk dari wilayah pendudukan ke negara lain, baik yang diduduki atau tidak, adalah tindakan terlarang, tanpa memandang motifnya."
Tujuan utama larangan ini, menurut Imseis, adalah untuk mencegah penjajah mengambil alih wilayah yang diduduki dan menggantinya dengan pemukim baru, seperti yang dilakukan Jerman Nazi selama Perang Dunia II.
Apakah Israel Pernah Dituduh Melakukan Pembersihan Etnis?
Bagi rakyat Palestina, istilah pembersihan etnis mengingatkan pada Nakba (bencana), ketika sekitar 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka selama pendirian Israel pada 1948.
Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan rencana pemukim Israel dan pejabat sayap kanan yang berusaha mengusir warga Palestina dari Gaza dan menggantinya dengan pemukim Yahudi.
Kelompok hak asasi manusia dan aktivis mengatakan bahwa perluasan pemukiman Israel dan pengusiran warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur juga merupakan bagian dari pembersihan etnis warga Palestina dari wilayah yang diduduki Israel.
Apakah Rencana Trump Termasuk Pembersihan Etnis?
Para ahli hukum menyebut bahwa rencana Trump untuk Gaza mencerminkan definisi pembersihan etnis yang telah dijelaskan tiga dekade lalu. Namun, agar dapat ditindak secara hukum, tindakan ini harus diklasifikasikan sebagai kejahatan internasional.
Rencana Trump melanggar prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tertuang dalam Piagam PBB 1945. Pasal I Piagam tersebut menyatakan bahwa tujuan PBB adalah "memelihara perdamaian dan keamanan internasional" serta mengambil tindakan kolektif untuk mencegah ancaman terhadap perdamaian. Piagam itu juga menjunjung tinggi "prinsip hak yang sama dan penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa" serta melarang pencaplokan wilayah negara lain.
Namun, dalam pernyataannya, Trump mengisyaratkan bahwa warga Palestina tidak memiliki pilihan selain meninggalkan Gaza, yang mengindikasikan bahwa pemindahan mereka bisa dilakukan di bawah tekanan.
Rajagopal menegaskan: "Tidak ada pengecualian bagi warga Palestina terhadap aturan ini—mereka memiliki hak yang sama atas penentuan nasib sendiri dan tanah mereka seperti bangsa lain."
Apakah Israel Berhak Menyerahkan Gaza kepada AS?
Pada Kamis (6/2/2025), Trump kembali menegaskan pernyataannya, dengan mengatakan:
"Jalur Gaza akan diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Israel setelah pertempuran selesai."
Namun, sebagai kekuatan pendudukan, Israel tidak memiliki hak hukum untuk menyerahkan Gaza kepada AS atau negara lain.
"Menurut hukum internasional, Israel tidak bisa secara sah menyerahkan Gaza kepada Amerika Serikat," kata Janina Dill, direktur Oxford Institute for Ethics, Law, and Armed Conflict.
Mahkamah Internasional (ICJ) telah menegaskan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah ilegal dan harus diakhiri. PBB juga telah menetapkan batas waktu hingga 17 September 2025 bagi Israel untuk menarik diri dari wilayah pendudukan Palestina.
Jika rencana Trump dilaksanakan, ia dan pejabat lain yang terlibat dalam kebijakan ini berisiko menghadapi tuntutan hukum internasional atas pelanggaran hukum humaniter internasional dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Trump Kembali ke Kebijakan ‘Tekanan Maksimal’ terhadap Iran
Dalam konferensi pers itu, Trump juga mengumumkan bahwa ia telah mengembalikan kebijakan "tekanan maksimal" terhadap Iran, sebuah langkah yang sebelumnya diterapkan dalam masa jabatan pertamanya untuk menekan ekonomi Teheran.
Trump mengakui bahwa ia tidak menyukai kebijakan ini, tetapi mengklaim bahwa itu diperlukan untuk menekan Iran agar tidak mengembangkan senjata nuklir.
"Saya benci melakukannya. Saya ingin Iran damai dan sukses. Saya benci melakukannya," katanya.
"Saya pernah melakukannya sebelumnya, dan kami berhasil menekan mereka hingga mereka tidak punya uang lagi. Mereka harus bertahan sendiri, dan mereka tidak punya sumber dana."
Ketika ditanya mengenai kemungkinan negosiasi langsung dengan Iran, Trump mengindikasikan bahwa ia terbuka untuk kesepakatan baru, tetapi dengan satu syarat utama.
"Mereka tidak boleh memiliki senjata nuklir. Itu sangat sederhana." katanya.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana kontroversial untuk mengambil alih Jalur Gaza, memindahkan penduduk Palestina ke negara lain, dan membangun kembali wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah."
Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Selasa (4/2/2025), Trump mengatakan bahwa Yordania dan Mesir akan "memberikan lahan yang kita butuhkan untuk menyelesaikan ini," sambil berdiri di samping Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Rencana ini muncul setelah lebih dari 47.000 warga Palestina tewas dalam 15 bulan terakhir sejak Netanyahu menyatakan perang terhadap Gaza, sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.139 orang di Israel selatan. Netanyahu saat ini menjadi buronan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sejak serangan tersebut, Gaza telah hancur akibat serangan pasukan Israel yang menggunakan persenjataan yang dipasok oleh AS. Menurut Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Ocha), hampir seluruh bangunan di Gaza telah mengalami kerusakan atau hancur.
Selain itu, 80 persen fasilitas komersial, 88 persen bangunan sekolah, 68 persen jaringan jalan, serta 68 persen lahan pertanian di Gaza juga telah dihancurkan.